“Asslam’mualaikum,”
“Masuk saja,”
Begitu ia duduk, dengan map biru kuambil berkas yang dia pegang, benda itu ada bersamanya sejak tadi sebelum masuk ke dalam ruanganku. Kami memang sudah memiliki janji. Semua aku baca perlahan, setelahnya aku tandatangani dengan senyuman.
“Segera ajukan ujian!” Kulihat anak itu tersenyum, mencium tanganku, mengucap salam dan berlalu menuju pintu keluar dari ruang kerjaku yang sedikit mulai berantakan. Begitu banyak hal yang harus dikerjakan seorang dosen.
Kutarik nafas panjang, mengambil tas kemudian melangkah pasti menuju pintu keluar. Duduk di pelataran Fisipol UGM, membuka laptop, berkawan play list musik yang aku sukai mulailah jari-jariku berselancar menyelami dunia maya yang sudah beberapa bulan terakhir aku tinggalkan. Tanggung jawab sebagai dosen mengambil sebagian besar waktu untuk diriku sendiri. Sebentar lagi UGM akan mengadakan wisuda, sebagai pembimbing, kesibukan menjadi bertambah-tambah.
“Asslam’mualaikum,” seseorang mengantar pesan. Dari tanggalnya, surat elektronik itu sudah dikirim lebih dari dua Minggu. Ada centang biru di alamatnya, menandakan pemilik akun sedang aktif.
“Waallaikumsalam,”
“Ibu guru ini Beta Fadli,” Pesan balasan itu datang begitu cepat. Jariku seakan baru saja mengirim saat balasan itu datang. Banyak hal aku tanyakan, meyakinkan bahwa itu benar adalah Fadli. Fadli anak muridku saat jadi pengajar muda di provinsi Maluku.
#######
Kurang dari satu bulan sebelum acara pelantikan. Benar kata orang, dunia memang tak selebar daun Kelor. Teknologi memudakan semuanya. Murid yang dulu sempat dibuat kebingungan dengan cara kerja telepon kini begitu pandai dalam memainkan dan menjalankan komputer. Bahkan kemampuan Fadli jauh di atas aku, manusia yang lebih dulu memegang telepon jika dibandingkan ketiganya.
Dari Jogja, Fadli dan Ujud mengajak aku pergi ke Bandung menghadiri acara pelantikan Novita yang sudah akan menjadi seorang Tentara. Mimpi yang menjadi nyata, melalui jalur Akademi Militer laki-laki bernama perempuan itu akhirnya benar-benar menjadi seorang tentara. Novita yang meminta Fadli mencari agar aku bisa hadir di acara pelantikannya. Tak hanya kami, Dea juga terlihat ada di sana.
Orang-orang berpelukan, menangis juga tertawa bahagia. Bahagia yang bercampur tawa kesedihan, kesedihan yang juga berbalut sempurna berselimutkan kebahagiaan. Jelasnya orang-orang itu tertawa sambil menangis atau menangis sambil tertawa.
Dari arah barisan tentara yang baru saja dibubarkan, Novita berlari kencang, sekuat tenaga anak itu menangis terseduh-seduh. Tunduk mencium kaki sang ibu. Tiada rasa malu, pangkat yang ia punya pada seragamnya jauh ia letakan pada bagian dasar paling bawa. Dengan wanita yang melahirkannya, bagi Novita semua itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Mengucap syukur pada Allah, berterima kasih pada ibu. Wanita setengah baya yang susah paya membesarkan dirinya dengan segala keterbatasan di samping api kecil dan balok kayu berbau jamur, berkolaborasi dengan suara tetes hujan yang masuk lewat banyaknya anyaman daun Sagu bocor juga tanah hitam pekat becek.
Ujud dan Fadli memberi hormat “Siap Komandan!” Tak membalas, Novita merangkul dua sahabatnya. Mereka tertawa dan menangis di saat yang sama. Ketiganya Berpelukan bahagia