Nadia menarik napas lega. Bibirnya tersenyum seraya melirik jam tangan pink yang melingkar di tangannya.
"Hmmm, hanya terlambat beberapa menit, alhamdulillah," bisinya seraya melangkah ringan mendatangi pintu rumah klasik berarsitektur Belanda.
Satu dari sekian rumah peninggalan tempo doeloe yang masih tersisa dan tetap dipertahankan keasliannya. Nadia tinggal di rumah ini sudah hampir dua tahun. Tepatnya seminggu sebelum dia resmi menjadi siswa SMA Pelita. Sekolah swasta terfavorit yang ada di sekitar situ.
Pukul 20.05 WIB, Nadia sampai di depan rumah besar milik Nenek Juwangsih, atau yang lebih akrab disapa Enin. Seorang nenek yang terkenal judes, borjuis dan bermulutnya pedas. Dia masih memegang teguh budaya peodal ala penjajah.
Senyum bahagia tersungging di bibir gadis berusia 17 tahun itu, sesaat sebelum memegang gagang pintu. Wajahnya berbinar-binar, hatinya dipenuhi berjuta bunga aneka warna yang harum mewangi. Dia teramat bahagia.
Bagaimana tidak?
Seorang Lucas, kakak kelas yang sudah lama dikaguminya mengajak jalan ke toko buku dan makan di pusat kuliner ternama di kota ini. Sungguh ini akan menjadi sebuah kenangan yang tak akan pernah dilupakannya.
Lucas juga membelikan dua buah novel karya dua penulis kebanggaan Indonesia yang karya-karyanya sangat disukai Nadia.
"Ini hadiah terindah yang pernah diterima dalam sejarah hidupku. Dari Kak Lucas lagi, muuaah!" Nadia mencium bungkusan plastik berisi Supernova dan Pergi buah karya Dee Lestari dan Tere Liye.
Sejatinya Nadia telah banyak mengenal Dee Lestari, bukan hanya dari karya tulisnya yang selalu best seller. Namun sebagai anak yang sangat tertarik dan cukup berbakat dalam tarik suara, tentu saja Nadia telah mengenal Dee Lestari sebagi Dewi Lestari di RSD, group vokalnya.
Kebahagiaan Nadia semakin lengkap. Karena Sang Leader Band SMA Pelita itu pun, bersedia mengantarkannya kembali hingga pintu gerbang rumah Enin. Dan sebuah kecupan mesra kembali mendarat di keningnya. Kecupan untuk kedua kalinya yang sama sekali tak pernah Nadia bayangkan sebelumnya.
Romantisme yang sangat klasik dan sederhana, namun keindahannya tak mungkin bisa disandingkan dengan kemewahan dunia manapun.
Apakah Nadia sedang jatuh cinta pada Lucas? Belum tentu.
Terlalu dini untuk membicarakan itu. Nadia memang tidak terlalu asing dengan urusan asmara, namun Lucas juga bukanlah lelaki yang mudah jatuh cinta.
Sangat kecil kemungkinannya seorang Lucas menjatuhkan pilihan hatinya pada seorang Nadia yang bukan siapa-siapa. Status sosial mereka pun bahkan bagaikan bumi dan langit.
Untuk sekedar berandai-andai pun Nadia bahkan tidak berani. Hanya satu keyakinan yang ada dalam dirinya. Lucas tak lebih hanya menganggap dirinya adik kelas yang pandai bernyanyi dan bersuara merdu. Seperti pujian yang sering terlontar darinya.
Lucas anak seorang pejabat teras di Kementrian Kehutanan. Hidup bergelimang harta dan kemewahan, sama seperti Lusyana, adik kembang Lucas yang juga sahabat dekat Nadia.
Sedangkan Nadia? Dia hanya seorang gadis yatim piatu yang miskin. Bisa melanjutkan sekolah sampai SMA pun karena dia rela menjadi Asisten Rumah Tangga di rumah Enin.
"Assalamualaikum." Nadia mengucapkan salam seraya mendorong pintu. Tak ada jawaban.
Dengan sangat hati-hati dan perlahan nyaris tanpa menimbulkan suara, Nadia mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci dan masuk. Kemudian menutupnya kembali dengan gerakan yang sama.