Setelah diam, langkahku tidak langsung cepat. Bahkan, aku sempat ragu untuk melangkah lagi. Rasanya seperti bayi yang baru belajar berdiri --- goyah, takut jatuh, dan lebih sering menengok ke belakang dari pada ke depan.
Tapi dari diam, aku belajar satu hal: hidup bukan soal seberapa cepat aku sampai, tapi seberapa sadar aku menjalani.
Dulu, aku terlalu sering berlari. Mengejar pengakuan, kejar target, kejar ekspektasi. Semua harus cepat. Semua harus jadi. Semua harus dibuktikan. Aku takut ketinggalan, takut dibilang lambat, takut dianggap gagal.
Sampai akhirnya aku lelah. Bukan hanya secara fisik, tapi lelah yang diam-diam tumbuh di dalam dada. Yang membuat pagi terasa berat, malam jadi penuh gelisah, dan setiap langkah seperti sedang berjalan dalam kabut.
Di fase itu aku mulai bertanya: