SETELAH KEDUA

Jullianty
Chapter #2

Destinasi Awal — BINAYA JIVAH WIJAYA

Binaya Jivah Wijaya

“Gue antar pulang saja, Bi. Sudah malam, entar gue yang izin sama Jingga.” 

Senyumku sontak hadir. Gelengan kepala akan sikap protektifnya padaku tidak tertahankan.

Dasar Winata! Kiranya lelaki itu tidak pernah mendengarkanku sejak pertemuanku dengannya belasan tahun lalu. Lengkapnya, Winata Kana Ziandru, lelaki yang berusia sama dengan Mas Dewa, kakak sambungku yang aku temui tahun 2006.

Singkat cerita tentangku, Ibu kandungku, wanita yang begitu cantik di dalam album keluarga, sudah pergi meninggalkanku ketika perjuangannya melawan penyakit Kanker Usus Besar berakhir. Saat itu, umurku baru saja menginjak 6 tahun. Kepergian Ibun (panggilan sayangku padanya) membuat ruang kosong yang seringkali aku dan Ayah tutupi bersama. Namun, langkahku dan Ayah terus teringat pada pesan Ibun, aku dan Ayah harus tetap berusaha mencari kebahagiaan yang tersisa. 

Lalu pada satu sore yang begitu sejuk, Tante Titania, teman baik Ayah dan Ibun,  mengenalkan Ayah pada seorang wanita dengan rupa yang begitu hangat. Wanita bernama Nirmala Veronica, dengan satu lelaki yang berjarak 4 tahun di atasku untuk membuat satu bangunan utuh kembali. 

Namanya Dewa Keevano. Entah mengapa nama itu begitu pas jika disematkan nama belakang keluarga Ayah di ujungnya. Mas Dewa, lelaki sok jago yang sangat berusaha menarik simpatiku kala itu, tiba-tiba saja datang bersama Bunda Nirmala saat aku mulai lebih banyak bertanya, kapan ada waktunya Ibun bangkit dari pusarannya dan pulang ke rumah. 

Perjalanan singkat itu kemudian menyalakan kembali arti keluarga yang sempat redup. 

“Harusnya sebentar, sih. Mas Iga sudah ketemu sebelum manggung. Paling pamitan aja.” ucapku, kembali menutupi manisnya perhatian Kakak Sambungku yang kedua itu.

Kak Winata mengangguk. Lalu entah mengapa, kami kembali bertatapan dengan serius.

“Beneran, Kak. Astaga, kenapa enggak percayaan sama teman sendiri, sih? Gue enggak ditinggal sendirian.” 

Dahi Kak Winata mengerut, “Enggak percaya sama Jingga? Ngaco.”

“Tatapan lo itu,” aku berhenti sejenak. Bingung dengan presensi Kak Winata yang semakin mendekatkan dirinya padaku, “Apa?” tantangnya. 

Berbeda denganku yang semakin mengerucut, 

Eeee, aam-pun…. sorry, mm-maksudnya,” 

Kak Winata tak gentar. Ia tetap memajukkan wajahnya yang sudah sangat aku hafal setiap titik panca indera yang diberikan Tuhan padanya. 

…Aku tidak tahu harus berbuat apa?! 

35…

30...

Kini wajah Kak Winata dibiarkan berhenti, saat jarak wajahnya denganku berkisar dua puluh lima sentimeter. Ah, tidak, bahkan otakku tidak bisa berpikir jernih. Aku mungkin bisa dengan ragu memastikan apakah penggaris yang biasanya kugunakan untuk memukulnya dulu, lebih panjang daripada jarak pandang di antara kami saat ini. 

 “Kaos gue yang 3 hari lalu lo pake, sudah dicuci belum, Bi?”  

Hah?,” lidahku kelu, pandangan Kak Winata akanku masih begitu dekat, “Aa–apa, sih, loncat-loncat lo ngomong ke gue, Kak,” aku tidak yakin, tapi jarak wajahnya masih membuat setiap kata yang keluar dari mulutku menjadi patah. 

“Hh–harusnya, sudah, sih… Semalam Mas Dewa yang tugas bagi-bagiin baju selesai digosok Mbak Indri. Mungkin sudah dipisahin di kamarnya?” 

Kak Winata kemudian dengan santainya mengangguk dan mulai menjauhkan dirinya, tanpa memperdulikan debaran jantungku yang kalut ini.

“Tapi, Bi,” 

Demi Tuhan, aku tidak pernah suka dengan pergerakan tiba-tibanya! 

“Lo pasti deg-deg-an, ‘kan?” 

Hah?”

“Tuh, pasti. Yakin gue.” godanya, aku memproses.

Yy–yha, apa?! Tuh apa?!” Seketika aku berada pada labirin yang tak kukenal. 

Kak Winata tidak membalasku, ia tertawa renyah. Seakan berhasil menjahiliku seperti biasanya. 

“Tadi, Bi,”

Apa? Tadi? Bisa sekali lagi lebih jelas, wahai Winata Kana Ziandru?!

Wajahku geram. Kak Winata pasti bisa melihat itu. 

“Tadi, pas gue nunjuk lo dari atas panggung. Muka lo langsung merah. Udang rebus buatan Tante Nirmala, kalah merah, Bi. Salting-nya sampai celingak-celinguk ke Ella. Katanya, Binaya sudah punya pacar, tapi dirayu sedikit pakai lagu sama lelaki lain, malah kayak gitu. Kasihan memang si Jingga. Kurangin, deh, Bi. Gue gak bisa belain, kalo elonya yang gatel.”

Lihat selengkapnya