“Adek gue besok cuma mau ke toko bunga buat order Tulip kesukaan Nyokap.”
Kepulan asap yang gue ciptakan kembali, tercegat dengan ucapan dari Dewa. Lengkapnya, Dewa Keevano dengan tambahan Wijaya di belakangnya pada usianya menginjak 12 tahun. Saat itu, Dewa yang sudah bersama gue sejak gue pertama kali diperbolehkan main ke luar rumah, membagikan kebahagiaan pertama setelah kehilangan Ayah kandungnya.
Keriangan Dewa yang sempat tertinggal, diantarkan kembali ke dalam hidup gue. Namun sialnya, kehidupan kita tidak pernah memasuki masa berbahagia berbarengan. Tepat dua minggu setelah Dewa mengabarkan jika sepertinya ia yakin akan memiliki keluarga baru, gue dan Ibu harus pergi ke Yogyakarta. Menghilang sejenak atas kisruh yang dibuat oleh lelaki bernama Bahitra Ziandru, lelaki yang memberikan darahnya di tubuh gue.
Delapan tahun berselang, gue kembali ke Jakarta. Berniat menempati rumah yang dulunya punya banyak cerita untuk seorang Winata Kana, tidak pakai Ziandru.
Usai kembali ke Jakarta dengan kerelaan mencari tempat berteduh yang baru untuk gue dan Ibu, gue, Winata Kana, kembali menjadi seseorang dengan ambisi setinggi langit. Lima tahun lalu, gue dan Dewa terjebak pada janji manis Dion Arsenio, sepupu gue sendiri, untuk mengisi acara di sebuah charity yang diadakan di kampus-nya. Di sana, gue bertemu dengan Panca Damian Gershon, lelaki serba bisa, dan Jingga Adyakhsa,
Lelaki yang terus gue doakan untuk tidak menyakiti Binaya.
“... Takut lo rewel nanya Binaya ngapain besok.” seperti biasa, Dewa selalu menyeloteh hal yang tidak penting kepada gue.
Gue menghela napas, cukup kasar sebagai penanda bahwa gue tidak ingin memberikan jawaban yang Dewa inginkan. “Cabut, ayok.” ajak gue.
“Cih, sini dulu.”
Namun menurutnya, topik di antara gue dan Binaya, selalu penting.
Gue hendak menampilkan protes, “Ayok, ah!” toh, putung rokok yang tersedia sudah habis.
“Nat,” panggil Dewa sekali lagi, “Kemarin Jingga bilang sesuatu ke gue."
Dan benar saja, gue tahu arah Dewa akan kemana. Gue sudah sangat menduga hal yang ingin Dewa tanyakan. Namun bagi gue, tidak ada lagi yang perlu dipastikan. Gue hanya menciptakan luka dengan sengaja, jika terus maladeni ucapan Dewa.
“Terus kenapa sih, Wa?"
"Lo pasti sadar arahnya ke mana, Nat."
Gue masih diam. Menahan tubuh gue yang semakin berat untuk meninggalkan Dewa. Pikiran gue berkelana. Harus bagaimana lagi menipu Dewa.
"Ngigo lo masih sama, Nat. Pas di kamar gue, belum berubah." tambah Dewa. Kali ini lebih serius, dan gue semakin membenci perasaan yang tiba-tiba saja muncul. Bahkan alam sadar gue ternyata kompak dengan semua dugaan Dewa pada gue dan Binaya, adiknya sendiri,
"Kalo lo gak gerak, gue gak bisa jam--"
"Sudah jelas, Wa. Lo lihat, ‘tuh. Jingga yang dibutuhin adek lo, bukan gue."
Seharusnya, tensi gue tidak setinggi ini. Tapi jika gue tarik kembali semua waktu yang gue, Dewa, dan Binaya lalui, gue cukup lelah memberikan penjelasan bahwa Binaya dan Jingga adalah pasangan yang terbaik untuk saat ini. Biarkan ketidakpedulian yang gue sengaja ini terpancar meluas. Harusnya Dewa tahu, gue dan dia sama. Sama-sama dibutuhkan Binaya sebagai Kakak yang melindungi perjalanannya di masa depan.
"Wa, meskipun 5, 10, atau 15 tahun lagi semua yang gue ucapin masih sama. Adek lo juga sama, lebih butuh Jingga." ucap gue, menyaingi keseriusan Dewa.
"Lo masih mengutamakan Binaya, Nat. Dan herannya, Binaya masih nungguin lo yang bukain minumannya. Gue semakin sadar, polanya salah. Rekayasa semua.”
Sial! Tapi tidak, tidak boleh ada yang terungkap lagi.
"Bener, Wa,” Sekeras tenaga, gue membangunkan Dewa yang terlihat nyaman mengikat topik yang sangat gue hindari. Tubuhnya dibiarkan kaku agar semua usaha gue terlihat sia-sia. “Polanya sudah jadi baju utuh. Enggak ketekkan kayak singlet gue.” tambah gue, tentunya asal dan ingin cepat-cepat selesai.
"Serius, Nyet." balas Dewa emosi. Gue bisa melihat itu.
"Serius. Udah, ah. Cabut.”
Gue terus berusaha menampilkan gerakan untuk mengajak Dewa pergi dari bahasan yang tidak ingin gue perjelas. Kedua mata Dewa masih setia. Kegigihan akan pertanggung jawaban perasaan gue ke pada Binaya terus dikumandangkan.
Gue hampir menyerah pada langkah yang benar-benar gue tujuan untuk meninggalkan Dewa, namun tubuh gue berbalik, hendak menjabarkan satu kalimat penutup, “Kalo lo mikir gue enggak pernah coba gerak lagi, lo salah. Dua tahun berjalan, berapa kali ada momen lagi gue berdua sama Binaya? Sebanyak itu gue nyoba cari tahu apa yang Binaya butuh dari seorang lelaki yang bukan Kakak sambung-nya, Binaya masih kedinginan, kalo pakenya jahitan gue. Gue pinternya nyanyi sama bikin lagu, bukan kasih Binaya baju, kayak Ibunya Jingga. Mau sampai kapanpun, gue ini Doppelgänger lo, pasnya buat Kakak sambungnya yang kedua."
Belum sempat dibantah oleh Dewa, balasannya tercegat dengan dering ponsel yang ia angkat. Matanya masih menjurus ke arah gue yang sudah berdiri tegak.
“Hp lo mati?” tanya Dewa langsung selesai memutus panggilan yang singkat.
“Kayaknya. Gak bawa juga di tas.” balas gue sambil mengarahkan muka gue pada tenda peristirahatan Get The Rock yang berada di belakang gue. Sesaat setelah menerima balasan gue. Dewa memegang pundak gue dan mencengkramnya sedikit.
Gue cukup kesakitan dengan cengkraman itu, namun Dewa enggan melepaskan. Dewa memutarkan tubuh gue, “Lo lihat,” lurus ke arah Binaya yang sedang menarik resleting jaket oversize berwarna abu-abu milik gue. “Adek gue mungkin kedinginan pake baju lo, tapi dia nyaman di jaket lo.”
Dalam pandangan itu, Dewa melanjutkan ucapannya, “Harusnya gue marahin dia, karena lebih milih jaket temen gue dibanding pacarnya sendiri. Harusnya gue marahin dia, karena buat pacarnya nelfon gue untuk minta persetujuan temen gue buat minjemin jaketnya. Harusnya gue marahin Jingga juga, karena terlalu ngalah sama adek gue.”
Gue tidak tahu. Benar-benar tidak tahu harus berbuat apa tas semua hal di antara gue, Binaya, dan Jingga. Satu tahun hubungan Binaya dan Jingga terajut, gue semakin merasa tertarik interaksi keduanya. Bersusah-payah mencari jalan untuk tidak berbarengan ternyata tidak begitu direstui semesta.
“Tapi yang lebih penting, harusnya lo bertiga, enggak kayak gini. Gue makin bingung, siapa yang sebenarnya lagi berkorban.”
Sepintas pikiran gue disambar begitu hebat oleh Dewa kembali. Tapi gue berhasil kembali pada kenyataan atas keputusan Binaya yang sudah menentukan pilihannya pada Jingga.
“Gausah diperkeruh, Wa. Jingga sudah milih Binaya. Binaya sudah milih Jingga. Gue,” kembali pada keseriusan, kali ini gue yang bergantian mencengkram pundak Dewa, kali ini benar-benar penutup,“Gue milih cabut.”
“Ah, anjing?! Nat, serius dikit, bangsat.”
Dua jari tengah yang mengudara gue angkat sengaja. Menandakan bahwa peperangan dengan Dewa tak lagi gue inginkan, “Cepetan, deh, kalo masih mau gue antar balik.” tambah gue, sedikit berteriak.
Langkah yang gue percepat ternyata tidak membuat Dewa menyerah begitu saja. Sesampainya di tenda, Dewa terus memanggil gue, gue hanya berpura-pura sibuk dan tidak menyahutinya. Kesabaran Dewa hendak gue habiskan, dan benar saja. Langkah gue pun dihadang.
“Nat, gak bisa gantung gini terus. Mau sampai kapan, sih? Lo–”
“Ya, oke. Lo mau ngomongin Binaya dari sisi mana lagi pun gue hayuk, tapi enggak malam ini. Abis manggung, Wa, capek.” Namun gue tak kalah. Gue juga bisa menghadangnya, “Laper pula. Udah, balik. Tadi katanya nyokap lo udah masak buat kita.”
“Ck, bajingan lo, ah.” protes Dewa.
Kali ini, gue sudah yakin, Dewa kalah.
“Aduhhh, Mas Dewa, kok malah-malah, sih????”
“Wah, anjing.”
Masuk pada bagian kedua, menggangunya.
“Mas Dewaaa, ih, tunggu, dong.”
Dewa sudah kembali. Ia berlari kecil untuk menghindari kejahilan gue. Tak lupa dengan pekerjaannya sebagai manager Get The Rock, beberapa orang yang mengurusi Get The Rock pun hendak ia temui sebentar untuk segera berpamitan. Meskipun gue ditunjuk sebagai leader, gue selalu suka mengekor di belakang tubuh Dewa yang lebih tinggi dan kekar dibanding gue. Gue selalu bisa bersembunyi dengan nyaman setelah semua suara dan gaya gue tampilkan di atas panggung. Selalu semua yang berkaitan dengan Dewa, ada kenyamanan di sana.
Dari runtutan ucapan Dewa yang selalu mempengaruhi gue pada menit setelahnya, perlahan hanyut sebagaimana mestinya. Ketenangan untuk melanjutkan sebuah perjalanan hidup Winata Kana sudah gue latih lebih keras. Gue tidak ingin mengacaukannya, dengan sekecil alasan atas ego gue sendiri. Gue bisa. Gue bisa mempertahankan semua yang sedang melekat pada hidup gue. Get The Rock dan semua manusia yang tertawa akan gue, akan sepenuhnya gue jaga.
Gue yakin, tidak ada penyesalan lagi. Pemikiran dan prasangka Dewa, sepenuhnya salah.
Pun Binaya yang sedang melahap makan malam terlambatnya hari ini masih terus mengoceh banyak hal. Memantik suasana yang keluarga Wijaya ciptakan sejak lama. Gue, parasit yang terus ditawarkan kebahagiaan ini tidak kekurangan apapun.