Untuk dia yang telah meninggalkan, memang mudah melangkah pergi tanpa memikirkan bagaimana perasaan orang yang ditinggalkan. Tapi untuk dia yang di tinggalkan, butuh waktu lama untuk menerima dan mengikhlaskan dia yang telah pergi.
____________________________________________________
Shalitta merelakan kepergian bukan berarti ia tak ada rasa sedih dan merasa terpuruk. Percuma saja berusaha mempertahankan seseorang yang sudah memaksa untuk pergi. Yang tahu dan merasakan hanya ia sendiri tanpa ia perlihatkan keorang lain.
Sudah pasti yang dirasakan ketika menghadapi perpisahan tentu saja rasa sedih. Siapa yang akan merasa senang saat merasakan kehilangan?
Sudah hampir setahun ini hatinya mati rasa, setelah perpisahannya bersama Elang. Menurutnya itu adalah patah hati terhebat yang pernah ia rasakan.
“Pulang sekolah mau kemana?”
“Mau jalan sama Yasa.”
“Pacaran mulu,”
“Ya, kan punya pacar. Emang lo?!”
“Ya, udah sih. Mentang punya pacar doang,” ucapnya sambil melanjutkan makan bakso di hadapannya.
“Mau sampai kapan sih Ta?”
Shalitta sama sekali tak berniat membalas ucapan sahabatnya. Keisha Mettasha, sahabat sekaligus orang yang menyaksikan bagaimana perjalanan kisah cintanya bersama Elang.
“Kapan sih lo bisa move on dari Elang.” Keisha mendengus kesal.
Shalitta menegakkan badannya menghadap Keisha. “Heh! Lo pikir gue belum bisa lupain dia? Lo denger ya Key, dengan gue masih sendiri bukan berarti gue belum move on,” ujar Shalitta tak terima.
“Ya kalo emang lo uda bisa lupain Elang, buktiin dong.” Keisha memberi jeda dengan menatap Shalitta. “Buktiin dengan lo punya pacar lagi.” Sambungnya dengan senyum menantang.
“Harus banget gue punya pacar biar lo percaya kalo gue uda lupain Elang?” tanyanya. Shalitta menatap Keisha, menunggu sahabatnya itu menjawab pertanyaannya. Tapi Keisha hanya menjawab dengan anggukan sekilas. “Pendek banget sih pemikiran lo Key.”
“Pemikiran lo tuh yang pendek. Selalu beranggapan yang datang selalu pergi.” Kesal Keisha. “Ta! Lo harus tau, gak selamanya yang datang akan pergi. Lagian lo kayak mau nikah aja sih. Masih SMA juga uda mikir punya hubungan sampe nikah.”
Shalitta mendelik kesal mendengar ucapan Keisha. “Siapa yang mikir nikah sih?!”
“Ya, lo lah. Dengan lo yang berpikir bahwa yang datang selamanya akan menetap, apa coba artinya? Resiko kali Ta dalam hubungan begitu.”
Keisha tidak buta, ia tahu betul gimana sahabatnya. Walau Shalitta selalu berkata bahwa ia sudah melupakan Elang. Tapi ia yakin, bahwa Elang selamanya masih menempati ruang di hati Shalitta. Sebenarnya Keisha tahu apa alasan Shalitta masih ingin sendiri, bukan hanya karena ia takut akan kehilangan lagi. Tapi yang jelas Shalitta masih mengharapkan Elang kembali.
“Lagian gue denger, Elang uda punya pacar,” ucap Keisha dengan cuek.