Malam hari setelah Sani memberikan undangan acara ulang tahunnya yang ke tujuh belas, Cahaya bakar-bakar lagi di depan rumahnya. Ia membakar undangan acara ulang tahun Sani yang berukuran tebal tersebut ditemani lagu milik salah satu grup band Jepang—One Ok Rock dari headset yang disambungkan dengan ponselnya.
Setelah semua bagian undangan sudah terbakar semua dan menyisakan abu saja, Cahaya menyiramnya dengan air dari selang yang ada di sana supaya abunya tidak terbang dan berpotensi membuat Cahaya batuk-batuk karena tak sengaja menghirupnya. Cewek itu duduk di sana sembari termenung kemudian.
Guntur dan Sani itu cocok, ya. Sama-sama tidak peka. Sama-sama polos. Sama-sama ramah. Sama-sama baik. Sayangnya, baiknya mereka salah tempat. Mereka tidak bisa melihat situasi. Mereka tidak peka terhadap perasaan Cahaya.
Cahaya mencengkeram rumput di dekat kakinya dengan erat, lalu mencabutnya dan melemparkannya sekuat tenaga ke depan. Apakah ia harus pindah sekolah supaya tidak bertemu mereka lagi? Ah, tapi itu terlalu berlebihan! Tidak-tidak! Masa cuma masalah begini saja pakai pindah sekolah?
"Ca?"
"Huaa!" Cahaya berseru kaget.
Seseorang yang memanggilnya juga kaget, ia refleks mundur ke belakang. Cahaya lebih kaget lagi saat mengetahui bahwa orang itu adalah Guntur. Ada apa lah cowok ini ke sini? Cahaya berdiri sambil menepuk-nepuk celana bagian belakangnya yang sedikit kotor.
"Ada apa, Tur?" tanyanya. Bau parfum yang dipakai Guntur tercium di hidung Cahaya. Bau yang familier baginya. Bau Guntur. Jantung Cahaya dibuat berdebar kencang olehnya. Sampai saat ini, pesona paras Guntur belum pudar di mata Cahaya. Ia masihlah cowok paling memukau yang Cahaya kenal.
"Kamu udah ngerjain pr sejarah, Ca?" tanya Guntur.
"Oh, udah." Apa Guntur mau nyontek? tanya Cahaya dalam hati.
"Boleh pinjem buku LKS sejarahnya nggak, Ca? Punyaku ketinggalan di laci meja kelas. Mau ngambil ke sana gerbangnya sama pintu ruang kelasnya ditutup. Besok lagi kan dikumpulnya—"
LkS: Lembar Kerja Siswa
"Oh oke-oke. Tunggu di sini. Aku ngambil bukunya dulu." Cahaya dengan langkah cepat berlalu masuk ke rumahnya. Sekembalinya dari kamar, saat keluar ke ruang tamu, lagi-lagi Guntur mengagetkan Cahaya. Cowok itu berdiri di dekat kursi ruang tamu dekat pintu.
"Ayah kamu nggak di rumah, Ca?" tanya Guntur. Hampir membuat Cahaya menjerit karena kaget lagi.
"Ngegetin!" seru Cahaya dengan sebal. Kurang dari sepuluh menit, Guntur sudah dua kali membuat jantung Cahaya berasa mau copot.
"Eh, maaf, Ca," ucap Guntur lalu meringis.
"Dimaafin," balas Cahaya, ia menyerahkan buku LKSnya pada Guntur. "Iya, Ayah nggak di rumah. Lembur katanya. Mungkin pulang sekitar jam dua belas nanti," jelas Cahaya. Guntur mengangguk-angguk.
"Makasih ya, Ca," ucap Guntur. Ia memasukkan buku LKS ke dalam tasnya. "Aku pulang, ya," pamitnya.
"Silakan," ujar Cahaya dengan nada ramah. Ia menyunggingkan senyum tipis.
Cahaya mengikuti Guntur sampai di depan pintu. Cowok itu ternyata ke rumahnya dengan menaiki sepeda. Cahaya tadi tidak memperhatikannya saat Guntur datang tadi.
Guntur melambaikan tangannya pada Cahaya. Cahaya balas melambai. Guntur mulai mengayuh sepedanya. Cahaya berbalik masuk rumah. Baru saja Cahaya hendak menutup pintu, ia dikagetkan dengan panggilan Guntur dengan suara menggelegarnya.