Hari-hari Cahaya berjalan seperti biasanya. Ia belum bisa melupakan Guntur seutuhnya. Guntur masih baik dan perhatian padanya. Sani masih ramah dan tidak peka. Emma masih menjadi sahabat terbaik Cahaya, dan ayahnya masih menjadi ayah terbaik walaupun tidak bisa banyak membantu dalam hal percintaan anaknya.
Ujian tengah semester tinggal lima hari lagi. Semua murid SMA Fanua, tak terkecuali Cahaya, mempersiapkan baik-baik supaya bisa mengerjakan soal-soal dengan benar. Cahaya belajar dengan giat. Setiap malam berlatih mengerjakan soal. Kadang belajar bersama dengan Emma. Cahaya berharap dengan begitu, ia akan lupa pada Guntur, dan keesokan harinya rasa sukanya pada Guntur akan hilang. Namun, sesibuk-sibuknya Cahaya, nama dan sosok Guntur masih sering hadir di kepalanya. Melihat Guntur berdua dengan Sani, ia masih iri.
Senyum dan suara Guntur masih berhasil membuat jantungnya berdegup kencang dan membuatnya gugup. Seperti sekarang. Pagi ini. Di kelas yang baru ada dirinya dan Guntur yang barusan mengucapakan salam dan menghampirinya.
Cahaya mendongak dari buku cetak Bahasa Indonesia yang tengah dibacanya dan membalas senyum Guntur.
"Kenapa, Tur?" tanyanya.
Guntur berhenti dua langkah di depannya. Bau sampo cowok itu tercium jelas oleh hidung Cahaya.
"Ca, kamu mau nggak jadi manajer tim basket?"
"Ha?"
"Jadi manajer tim basket. Manajer tim basketku ngundurin diri karena udah kelas dua belas. Ya, mau fokus buat persiapan Ujian Sekolah dan hal lainnya katanya. Kamu, mau nggak jadi manajer selanjutnya?"
Cahaya terkejut dengan tawaran Guntur ini. Sungguh tidak terduga! Jadi manajer tim basket. Terdengar keren. Tapi pasti sibuk, ya? Tapi di sana ia akan bertemu dengan cowok-cowok keren, siapa tahu itu akan membuat Cahaya melupakan Guntur.
"Gimana, Ca?" tanya Guntur.
"Kenapa kamu nawarin ini ke aku? Kenapa nggak yang lain atau .. Sani?" tanya Cahaya penasaran. Apakah Guntur punya motif tertentu?
Guntur tertawa kecil. "Oh, aku udah nawarin Sani. Begitu aku diminta nyari manajer pengganti, tapi dia nggak mau."
"Oh, gitu." Cahaya tersenyum tipis. Tentu saja jika ada sesuatu yang berhubungan dengan cewek, Sani-lah yang pertama dipikirkan oleh Guntur. Jelas saja, kan Sani itu pacarnya.
"Oh, gitu." Cahaya mengangguk-angguk paham.
"Dan menurut aku, kamu itu cocok, Ca. Kamu penyabar…"
Oh, tentu saja, batin Cahaya. Apalagi mengahadapi ketidakpekaan Guntur dan Sani.
"Kamu kuat, tekun, telaten, cekatan, dan nggak gampang nyerah," lanjut Guntur.
Mendengar Guntur menyebutkan sifat-sifat baiknya membuat pipi Cahaya merona merah. Berarti selama ini Guntur memperhatikan tingkah laku Cahaya. Memikirkan itu membuat hati Cahaya melambung. Cepat-cepat ia mengusir perasaan itu jauh-jauh! Jangan lagi ia baper gara-gara Guntur!
"Nah, terus, Tur. Tugas manajer itu apa aja?" tanya Cahaya, yang satu ini Cahaya wajib tau lebih awal.
Guntur menjelaskan dengan detail. Tugas manajer antara lain mengatur semua peralatan seperti bola basket, ring, handuk, dan air minum buat para pemain dan pelatih basket, wajib ada di lokasi latihan sebelum semua pemain tiba, merekam semua pertandingan tandang untuk dianalisis apakah ada yang salah, menonton dan menghadiri setiap pertandingan, mencatat setiap assist pemain, point, turnover, dan sebagainya.
"Jadi gimana, Ca? Mau nggak?"
Mau tidak, ya? Cahaya butuh waktu untuk memikirkan itu. Banyak sekali tugasnya. Pasti akan cukup melelahkan. Dipikir-pikir dulu, deh. Cahaya juga mau meminta pendapat Emma dan ayahnya. Bagaimana menurut mereka.
"Aku kasih tau jawabannya besok ya, Tur. Mau pikir-pikir dulu," jawab Cahaya kemudian meringis.
"Oke deh." Guntur mengacungkan jempolnya. "Aku tunggu, ya," katanya.