Setelah Patah Hati

Nur Afriyanti
Chapter #12

Gantungan Kunci

Bulan depan, tim basket dari sekolah Cahaya akan bertanding dengan SMA sebelah. Anak-anak tim basket dihimbau untuk menambah waktu latihan. Selain hari Selasa dan Sabtu, latihan ditambah hari Rabu dan Jumat sore. Hari ini hari Rabu, Cahaya ke lapangan setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi dengan semangat berkorbar. Belum ada satu pun orang di sana. Cahaya duduk setelah meletakkan tas serta plastik berisi air mineral gelas di bangku.

Beberapa saat kemudian, Pak Ragil—pelatih tim basket datang bersama lima anak tim basket yang akan maju untuk tanding. Jumlahnya lima orang. Mereka duduk di seberang Cahaya sambil merenggangkan tangan dan kaki. Satu menit kemudian Guntur bersama Raul datang. Dua cowok yang parasnya mampu membuat Cahaya terpesona. Keduanya melambaikan tangannya pada Cahaya dengan senyum secerah mentari siang itu. Terutama Raul. Cahaya membalas seadanya. 

Melihat Raul, Cahaya jadi ingat apa yang Raul katakan kemarin. Tiba-tiba saja hatinya jadi sebal melihat cowok itu. Cahaya buang muka dari kedua cowok yang sekarang sedang merenggangkan tangannya. Tampang Raul terlihat tidak berdosa sama sekali. Tidak sadarkah ia Cahaya sebal padanya?

Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sebelah Cahaya. Ia menoleh dan menemukan Raul yang tengah tersenyum manis padanya.

"Hai, apa kabar?" tanyanya ceria.

"Baik," jawab Cahaya datar.

"Senyum kamu diambil matahari, ya? Redup banget mukanya."

Cahaya mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan cowok itu. Ia mengangkat bahu.

"Marah sama apa yang aku bilang kemarin?"

"Hmm."

"Padahal itu fakta. Iya, 'kan?"

Cahaya tak menjawab. Ia membuang muka dari Raul dengan muka kusut. Ia mengabaikan Raul yang sekarang mendendangkan instrumen lagu entah apa. Suaranya pelan, tapi karena Cahaya duduk di sebelahnya, ia bisa mendengarnya jelas. Diam-diam Cahaya menikmatinya. Suaranya merdu.

Raul berhenti berdendang saat peluit ditiup kencang oleh Pak Ragil. Latihan dimulai.

Cahaya menonton dengan saksama. Raul dan Guntur tidak masuk regu yang akan bertanding. Mereka masuk cadangan. Bukan karena permainan mereka jelek, tapi yang akan bertanding bergantian. Di pertandingan sebelumnya, Guntur dan Raul sudah maju bertanding.

Sesekali pandangan Cahaya bertubrukan dengan Raul. Cowok itu selalu tersenyum saat bertatapan dengannya. Senyum yang mampu membuat jantung Cahaya berdebar kencang. Kenapa sih senyum cowok itu sangat memesona? 

Ditambah lagi, penampilan Raul tambah kece saat ia bermain basket. Saat mengelap keringat, dan saat tersenyum padanya. Cahaya sempat berpikir cowok itu sedang tebar pesona, tapi itu terlalu alami.

Cahaya mendecakkan lidahnya. Ada apa sih dengan dirinya? 

Sekitar sepuluh menit kemudian mereka beristirahat. Tepatnya, cowok-cowok yang jadi cadangan. Mereka mengambil air mineral dan handuk yang telah disediakan, lalu duduk di dekat lapangan untuk menonton teman-temannya. Kecuali Raul. Ia duduk di sebelah Cahaya. Ia sedot air mineral dari gelas minuman itu setelah duduk di samping Cahaya. Suara tegukannya keras, seperti sengaja membuat Cahaya menoleh padanya.

"Kenapa, Ca?" tanyanya saat Cahaya menoleh padanya.

Cahaya menggeleng dengan kaku. Kembali ia tolehkan kepalanya ke depan. Tepatnya ke lapangan.

"Masih marah sama aku, ya?" 

"Nggak, kok."

"Nggak? Syukur, deh."

Cahaya heran kenapa cowok di sebelahnya ini malah duduk di sampingnya. Kenapa tidak duduk bersama teman-temannya di depan sana? Kalau di sana, ia kan jadi bisa mengobrol seputar permainan basket teman-temannya itu. Lebih baik daripada duduk di sebelah Cahaya yang masih belum tahu betul dengan permainan ini.

Anehnya, teman-temannya, termasuk Guntur pun tidak mengajak temannya ini duduk di sebelah mereka. Apa mereka tidak terpikirkan apa yang Cahaya pikirkan ini, ya?

"Hey, Raul." Cahaya memanggilnya. Raul menoleh dan tersenyum sambil mengangkat alis. "Kamu kenapa nggak duduk sama temen-temenmu aja? 'Kan kalo di sana kamu bisa sambil diskusi sama mereka."

Raul tertawa kecil. "Kamu nggak mau aku duduk di sini?"

Lihat selengkapnya