Setelah Sang Raja Tumbang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #1

60 Hari Setelah Kemenangan

Sorak kemenangan puluhan ribu manusia bergema di depan bangunan beratap hijau yang selama ini kami anggap sarang iblis. Teriakanku cukup besar. Teman-teman demonstran merangkulku hingga hampir terjatuh. Kami sama terharu dalam euforia dari satu berita.

Soeharto lengser.

Teman-teman menggotong tubuhku. Aku membiarkan sembari membayangkan diri layaknya malaikat tengah mengapung di atas awan. Kupejamkan mata. Kubiarkan mereka mengayunku lalu menjatuhkanku ke dalam air pancuran.

Segar. Sejuk. Setelah semua bentrokan dengan aparat, teror penghilangan dan pembunuhan, semua darah ... hari itu pun tiba. Reformasi. Hari kemenangan mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia dari 32 tahun genggaman kuasa seorang diktator.

Istananya masih berdiri kokoh. Tentaranya masih gagah meski pulang dengan kegagalan. Terlihat damai. Mengharukan. Pelukan dan bendera dikibarkan layaknya pasukan yang berhasil meraih kemenangan di medan perang. Berita menyebar. Sang raja telah tumbang.

Ya. Itu dua bulan sebelumnya. Sedangkan latar kisahku ini dimulai tanggal 21 Juli 1998, ketika aku hanya berbaring beralaskan tikar di bawah pohon mangga belakang rumah. Tak bekerja. Tak berkelana. Kunikmati hari menganggurku dengan mendengarkan suara pinggiran kota. Ibuku menapi beras, ayahku menggergaji kayu.

Aku pernah melihat acara itu. Tontonan yang sangat disukai anak-anak. Kalau tidak salah namanya ... Ksatria Baja Hitam? Ya. Seingatku alurnya kurang lebih sama seperti film lain. Ada cecunguk monster, Ksatria Baja Hitam melawannya, kemudian tibalah hari mengalahkan raja terakhir, lalu tamat.

Kadang aku bertanya, apakah akhir bahagia itu benar-benar ada? Maksudku, setelah pahlawan berhasil mengalahkan musuh dan sedikit adegan damai, setelahnya apa yang terjadi?

Sama sepertiku. Aku dan puluhan ribu mahasiswa lainnya telah berhasil meruntuhkan 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Sepertinya tidak salah jika sedikit menganggap bahwa diriku adalah bagian dari puluhan ribu pahlawan. Musuhnya jatuh, Reformasi tercapai, lalu hanya ada satu pertanyaan tersisa.

Setelah sang raja tumbang, aku harus apa?

“Surya? Surya!”

“Iya, Bu?” sahutku.

“Ini si Bulan datang cari kamu!”

Aku buru-buru bangkit. Tidak boleh kubiarkan pujaan hatiku menunggu terlalu lama. Kurapikan penampilanku, meski hanya memakai celana panjang hitam dan kaos polo hijau. Aku kemudian ke teras di mana kekasihku sedang berdiri.

Ah ... Bulan. Wajah putih segitiganya tampak cantik seperti biasa. Bibir mungil merahnya tersenyum. Rambut pendek bergelombang itu sangat cocok dengan pakaiannya saat ini. Baju biru muda berkerah dan rok abu-abu.

Ketika kupersilakan dia duduk, Bulan malah mengajakku ke tempat lain. Aku mengernyit. Bulan masih tersenyum sopan ketika pamit pada Ibu.

Lihat selengkapnya