Namanya Irul. Teman sebangku waktu SMA dulu. Lebih. Kami sahabat karib. Kedatangannya yang tiba-tiba lantas membuatku senang duduk mengobrol nostalgia. Pembawaan tenang dari senyum kecil dan sudut runcing matanya membuatku tak ragu mengeluarkan semua beban di sanubari.
Pria berkaos merah itu duduk setengah bersila. Lengannya bertumpu pada lutut kiri yang terangkat. Pandangannya ke langit.
“Begitu, ya? Bulan meninggalkanmu karena hidup dengan tentara punya tunjangan lebih pasti. Kalau dinalar, itu cukup masuk akal.”
Kuhela napas. “Kalau tujuanmu ke sini hanya untuk menceramahi seperti ayah dan ibuku, lebih baik pulang saja!”
Irul terkekeh. “Dasar bodoh. Buat apa aku jauh-jauh ke sini kalau hanya untuk itu? Justru aku ke sini untuk menawarkan bantuan padamu, Sobat.”
Kupandangi Irul dengan satu alis terangkat. Irul menoleh. Di wajah bulatnya terukir senyum bak matahari yang sedang membawa secercah harapan.
“Ayo ikut denganku, Sur! Di seberang lautan sana ada kemilau harta menanti.”
“Kamu ini bajak laut, ya?” ejekku.
Ucapanku dibalas tawa oleh Irul. Alisku turun. Meski telah kulontarkan ejekan, aku tidak membantah perasaan lega atas ajakan yang menembus kebuntuan di otakku. Namun, masalahnya ada satu, dan itu terletak di dalam rumah.
“Kamu yakin, Sur?” tanya Ibu. Wajah oval berkerutnya jelas menunjukkan kekhawatiran.
Ruang makan berdinding papan kuning kusam menyaksikanku duduk di depan kedua orang tuaku. Aku gelisah. Selain Ibu yang terus mencengkeram kain daster merahnya, Ayah juga memalingkan muka.
“Irul bilang ... Ujungpandang kondisinya tidak separah di sini, Bu.”
“Tapi ‘kan jauh, Sur! Kamu tidak kasihan sama Ibu dan Ayah?”
Kutundukkan kepalaku. Kubiarkan rambutku sejajar dengan kaos polo batik cokelat yang membungkus dada bidang Ayah.
“Maafkan aku, Bu. Ibu sendiri yang bilang, jejaka sepertiku harus mencari kerjaan bagus dulu baru beristri. Aku rasa, sekarang saatnya kulaksanakan nasihat itu.”
Aku tidak yakin bagaimana ekspresi Ibu setelah aku mengatakannya. Hanya tarikan napas panjang kudengar, lalu disusul desakan Ibu meminta pendapat sang kepala keluarga. Ayah memanggil. Kuangkat kepalaku ketika beliau bertitah lewat rahangnya yang kokoh.
“Ayah tidak pernah menyesal menjual kebun dan segala macam demi menyekolahkanmu, Surya.” Senyum lantas terukir di wajahnya. “Jadilah pria, dan kejar keberhasilan yang dijanjikan sahabatmu itu!”
Cat kuning seakan makin cerah setelah kudengar ucapan Ayah. Ibu terlihat berat hati, tapi tak mampu melawan. Kucium tangan mereka berdua, lalu beranjak ke kamar dengan perasaan bak memenangkan piala dunia. Akhirnya!