Untuk sesaat, aku mencoba berpikir bahwa sosok yang digantung itu adalah manekin. Percuma. Geliat tubuh berlemak dan rengek memohon belas kasihannya tampak terlalu nyata. Kulit sawo matangnya kontras di atas latar tembok ubin putih membuatku kian bergidik.
Bahkan dalam keadaan terbalik tanpa busana, aku masih bisa mengenalinya. Tidak salah lagi. Dia adalah si botak yang mempermainkanku di restoran. Namun, tetap saja identitas singkat sang pria tak berdaya tak menjawab pertanyaanku tentang maksud pertunjukkan itu.
“Irul ... a-apa ini?” tanyaku dengan tangan gemetar.
Sahabatku itu menoleh pelan dan mengeluarkan senyum ramah seakan kejadian di hadapan kami adalah hal wajar. Tak ada kata. Irul hanya terus masuk menyusuri ruangan hingga menyentuh meja cokelat di pojok kiri. Mataku disilaukan pantulan cahaya lampu kala ia mengangkat sebilah parang.
Kepanikan menyentuhku ketika Irul mendekati si pria botak dengan parang siap terhunus.
“Hei, hei, tunggu!” Aku melangkah cepat menghalangi Irul. “Kamu mau apa?”
Irul masih menyengir dengan alis meninggi. “Kenapa khawatir begitu? Bukannya orang ini mengerjaimu pas kerja tadi?”
Rengek si pria botak kembali terdengar dari balik bekapan lakban perak. Dia sesenggukan. Aku bisa melihat air mata yang mengalir ke keningnya itu adalah bentuk permintaan maaf. Sekalipun dia telah berbuat jahil, hukuman itu tentulah melampaui batas.
Namun, aku tak sempat menyampaikan argumen itu pada Irul karena sahabatku itu terlanjur menggorok leher si pria botak. Cepat. Kata yang telah kusiapkan malah berganti jadi teriak ketakutan diiringi langkah mundur.
Irul tak menggubris. Dia tetap berdiri di tempatnya, menikmati suara dengkur kematian sang korban dan memandangi darah segar membasahi tegel lantai putih.
Aku menggeleng memastikan itu hanya mimpi buruk. Napasku tersengal. Kakiku yang gemetar mendadak mendapatkan kekuatan untuk melarikan diri dari ruangan. Sayangnya, mimpi burukku berlanjut dengan siluet pria kekar berjalan pelan menghadangku di koridor. Dia adalah si penjaga pintu.
Lututku kembali lemas saat menyadari diriku telah terperangkap. Koridornya sempit. Tanganku tanpa sengaja menyentuh sebuah pintu yang sebelumnya tak kuperhatikan karena minimnya cahaya menuju ruang jagal. Harapan terkumpul.
Kudorong pintu itu. Meraba-raba mencari sesuatu yang bisa kugunakan menyerang dua insan tak berjiwa dalam ruko tempatku terjebak. Sukar. Aku mulai mempertanyakan keputusanku masuk ke ruangan gelap itu hanya dengan modal harapan.
Derap langkah pelan terhenti di pintu seakan memberitahu waktuku sudah tiba. Aku terpaku. Tak punya nyali menengok pencabut nyawa di belakangku. Namun, ruangan mendadak terang bersamaan dengan bunyi sakelar. Kematian telah datang, tapi bukan bagiku.
Ruangan yang tadinya kukira sempit ternyata cukup luas ... untuk digunakan sebagai tempat menggantung puluhan potongan tubuh dan organ manusia. Pandanganku nanar. Ingatanku selanjutnya adalah semua jadi gelap.
***
Kubuka mata bersamaan kokok ayam, menemukan langit-langit dan tembok yang berwarna putih. Kamar kosku. Kuhela napas lega lalu cengengesan sendiri mengingat mimpi buruk nan gila itu. Kala hendak kusingkirkan sarung cokelat penyebab gerah, aku terlonjak dari ranjang mendapati Irul bersandar di daun pintu.
Sahabatku itu tersenyum. Sempat terbersit rasa heran karena melihat pakaiannya serupa dengan yang kulihat sepanjang kisah di dalam ruko. Ketika dia menceritakan potongan kejadian persis seperti ingatanku, barulah aku tersadar dari argumen konyol tentang mimpi buruk.
Aku duduk di pinggir ranjang dengan perasaan gelisah. Saat itulah Irul mendekat dan duduk melantai. Dia menatapku. Pandangannya terlihat tenang seperti biasa.