Setelah Sang Raja Tumbang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #4

Sang Pahlawan yang Butuh Uang

Seperti malam waktu itu, kami berjalan kaki di area remang nan pesing menuju ruko. Adegannya terulang. Pintu dibuka lalu kami masuk hingga ke ruangan eksekusi di ujung koridor. Irul lantas menyuruhku menunggu di dalam dan meninggalkanku.

Ruangan itu cukup aneh. Tetap putih mengkilap seakan jejak darah tak pernah ada di sana. Aku menunduk. Tanganku mengepal. Dalam kesunyian, batinku mendadak beradu argumen soal moral. Yang bisa kulakukan hanya tetap berdiri di tempatku, menoleh memandangi pisau besar dan nampan di meja cokelat.

Sudah kuduga, itu keputusan yang salah. Aku bergidik. Irul kembali dengan mengenakan celemek plastik dan memegang kepala si pria botak. Rasa heranku bercampur takut melihat Irul memasang ekspresi biasa saja. Dia meletakkannya di meja, lantas mulai menguliti wajah kepala itu. Kupejamkan mata, menunduk berusaha menahan muntah.

“Jujur saja aku malas mengerjakan bagian kepala seperti ini,” ujar Irul.

Aku tak menimpali. Hanya berdiri memunggungi Irul yang masih sibuk bekerja sambil menceritakan kesenangan hidupnya sejak melakoni profesi tak manusiawi itu. Suara pisau mengiris daging benar-benar membuatku merinding. Selang beberapa menit, kudengar suara pisau diletakkan.

“Baiklah, temani aku ke ruangan di koridor.”

Aku berbalik perlahan. Kuangkat wajahku menahan rasa ngeri melihat Irul memegang nampan yang kini berisi lidah, otak, dan sepasang bola mata. Bibirku bergetar. Irul hanya cengengesan sembari mendahuluiku keluar ruangan.

Aku menyusul. Ketika kakiku menginjak lantai koridor, giliran seorang pria kurus berkulit gelap masuk ke ruang jagal dengan membawa ember dan pel.

Pintu di koridor seakan tertawa mengejekku munafik ketika Irul memintaku membukanya. Kudorong pintu itu. Cahaya ruangan langsung menyambutku dengan potongan tubuh yang tak menunjukkan tanda pembusukan. Malam sebelumnya aku mengira rasa dingin berasal dari ketakutanku. Ternyata ruangan itu memang kulkas.

“Jadi, apa yang membuatmu berubah pikiran, Surya?” tanya Irul sembari meletakkan nampan di lantai.

“Jangan salah paham! Aku cuman penasaran apakah kamu tidak membual soal menjual organ.”

Irul cekikikan. “Ternyata ujungnya sang pahlawan juga butuh uang.”

“Berisik!”

Irul kemudian keluar ruangan, meninggalkanku dalam ruangan penuh kengerian. Kukepalkan tanganku. Kuberanikan diri melirik torso dan anggota gerak tubuh yang ditata seperti jajaan daging di pasar. Aku menelan ludah. Lantas aku mendekat menyentuh salah satu potongan badan.

“Hati-hati nanti kamu menginjak yang di lantai,” ucap Irul membuatku tersentak menoleh.

Kali ini Irul terlihat sedikit tergesa-gesa. Dia membawa sebuah kotak pendingin kecil berwarna putih, lalu berjongkok memasukkan bola mata ke dalamnya.

“A-ada apa?”

“Pembelinya akan segera datang.”

Selang tiga menit, Irul mengajakku keluar ruko. Kami menemui seorang pria usia 30-an bersetelan hitam yang bersandar di sebuah sedan berwarna serupa. Tak ada dialog. Sang pria asing membuka bagasi mobil, mengeluarkan koper dan menunjukkan tumpukan uang seratus ribu yang berbaris memenuhinya.

Mataku terbelalak. Sementara Irul terlihat mengangguk santai lalu menyerahkan kotak putih pada pelanggan. Tanpa kata, transaksi pun selesai. Pria bersetelan itu buru-buru meninggalkan kami.


Jaket dan seragam kerja telah kugantung di paku belakang daun pintu. Suara kakiku menapaki lantai mengantarku duduk ke ranjang. Aku menelan ludah. Kupandangi telapak tanganku, membayangkan menggenggam segepok fulus yang tadi kulihat saat transaksi.

Lihat selengkapnya