Sang sopir masih saja cengengesan hingga giginya memantulkan cahaya langit senja. Bahkan ruko yang letaknya di area sunyi tak lantas membuat wajahnya berubah heran. Aku hanya diam. Terus kupapah tubuh si pria cepak keluar taksi, menunggu Irul selesai membayar argo.
Klakson taksi berbunyi. Irul tersenyum tipis seraya mengangkat telapak tangan mempersilakan mobil kuning itu beranjak. Sementara aku mulai kewalahan menumpu bobot tubuh si pria berkemeja hijau. Sahabatku hanya cekikikan melihat kondisiku, lalu lanjut mengetuk pintu.
Sekali lagi kami melalui penjaga bertatapan sangar dan menyusuri koridor nan remang. Ruang jagal dibuka. Cahaya lampu memantul di interior putih menyambut tiga manusia yang sebentar lagi terlibat dalam adegan penuh darah. Irul mempersilakanku meletakkan tubuh tak sadarkan diri itu di lantai.
Detail lain baru tertangkap mataku di tanggal 20 itu. Di tembok dekat plafon ternyata ada kayu cat putih mencuat dipasangi katrol. Masih ada talinya. Pria kurus tukang bersih-bersih muncul dengan lima jenis senjata tajam masih basah dan dua utas tali tis yang kemudian dijejer di meja cokelat. Tak ada dialog antara kami bertiga hingga si tukang bersih-bersih keluar.
Setelah Irul mengenakan apron plastik dan sarung tangan yang dia ambil dari balik pintu, dia pun mengajakku untuk mulai bekerja. Aku mengangguk pelan. Hal pertama kami lakukan adalah menanggalkan pakaian si pria cepak. Terasa canggung. Terlebih ketika aku mendapat bagian celana.
Kukeluarkan dompet yang menyembul di saku belakang celana pria cepak itu. Awalnya ingin kusingkirkan. Namun, melihat tampilan fisik pria yang sedang kami lucuti, membuat rasa curigaku semakin menanjak.
Mataku membulat. Tanganku seakan menggigil. Dompet hitam kulit itu tak hanya berisi uang, melainkan juga kartu keanggotaan TNI. Kuurungkan niatku melorotkan celana si pria cepak. Irul merebut dompet lalu cekikikan.
“Wah, kamu dapat jackpot, Sur!”
Tangan kiri si pria cepak mendadak terangkat menyergap leher Irul. Aku tersentak. Kuambil tiga langkah ke belakang. Pria cepak yang bertelanjang dada berusaha bangkit dari posisi tengkurap. Sementara Irul berjuang melepaskan cengkeraman korbannya.
“P ... p ... pintu!” ucap Irul dengan suara tercekat.
Maksud yang ditangkap otakku adalah tutup pintunya. Maka kulakukan. Ketika aku kembali ke Irul, si pria cepak sudah dalam posisi duduk dan menguatkan cekikan. Aku kelabakan melihat Irul yang memukul-mukul lengan pria cepak tapi tak membuahkan hasil.
Ruangan putih terus membisikkan waktuku tidak banyak. Aku menggeleng. Kusingkirkan keraguan lalu maju menendang kepala si pria cepak. Berhasil. Badan pria cepak itu kembali mendarat di lantai hingga cekikannya terlepas, menyisakan Irul yang terbatuk.
“Maksudku panggil si penjaga pintu, Sur!”
Belum sempat aku berkutat mengatasi rasa bodohku, pria cepak sudah bangkit dan menerjang. Dia memukul. Aku berhasil menghindar. Sebuah keberuntungan karena tenaga si pria cepak terlihat belum sepenuhnya pulih.
Namun, kesialan juga menyusul. Pria cepak itu berhasil meraih senjata tajam di meja cokelat. Dia memilih parang. Sabetannya membabi buta. Gerakan yang tidak terlalu bertenaga itu justru membuatku lebih khawatir.
Aku tidak lagi memperhatikan keadaan Irul. Hanya fokus menghindari serangan si pria cepak. Aku terus mundur. Padahal tempat itu pada dasarnya cukup luas, tapi kepanikan membuatku seakan tak banyak memiliki ruang gerak.
Napasku memburu ketika merasakan punggung menyentuh dinding. Kakiku gemetar. Tangan pria cepak terangkat tinggi bersiap mengayunkan parang. Suara sekitar seakan tak terdengar. Saat itu aku hanya bisa berpikir, hidupku akan segera berakhir.