Setelah Sang Raja Tumbang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #6

Nurani, Lidah, dan Tindakan

Jakarta, 11 Agustus 1998

 

Untuk Surya,

Bagaimana kabarmu?

Kamu cukup tega tidak menghadiri pernikahanku tanggal 2 Agustus kemarin. Padahal setelah memberitahumu, aku berharap kamu masih bisa datang sebagai seorang teman yang tulus mendukung kebahagiaanku. Namun kudengar kamu malah pergi begitu saja ke Ujungpandang.

Saat aku berkunjung, orang tuamu sedang bersiap ke rumah sakit. Ayahmu masih sempat bercerita bagaimana beliau menangis haru mendapat kiriman uang untuk ibumu melaksanakan operasi. Itu bagus. Meski aku tidak mendapat informasi lengkap tentang pekerjaanmu (karena bahkan ayahmu tidak tahu), tapi aku turut bersyukur. Sepertinya kamu cukup sukses di sana.

Sengaja kukirimkan foto pernikahanku, bukan untuk membuatmu patah hati apalagi menangisi kenangan manis kita. Aku hanya berharap kamu tahu bahwa aku telah bahagia dengan hidupku yang baru, dan kuharap kamu juga segera.

Oh iya, suamiku bernama Fendi. Pangkatnya Sersan Mayor. Aku tidak terlalu paham tentang tugas tentara, tapi katanya dia akan berangkat ke Ujungpandang tanggal 13 nanti. Aku agak sedih. Sepertinya beginilah nasib istri seorang abdi negara, harus ditinggal sejenak meski pernikahan baru seumur kecambah. Yang bisa kulakukan hanya menunggu sebagai istri setia.

Sekian dariku, Surya. Aku harap kamu sehat selalu dan suatu saat kita bisa bertemu lagi dengan saling bertukar senyum ikhlas.

 

Salam,

Bulan.


Keringat dingin membasahi tanganku. Kerongkonganku terasa kering. Saat itu perasaanku saling menyahut. Namun, paling dominan adalah rasa bersalah telah merenggut kebahagiaan Bulan. Bagaimana tidak? Lima hari sebelumnya, adalah aku yang memasukkan jantung dan ginjal suami Bulan ke dalam peti putih kecil untuk diberikan ke pelanggan.

Saat kayu tepi ranjang dengan senang hati menerimaku duduk, tembok dan langit-langit kamar malah seakan menakuti agar aku semakin menyesal. Kupandangi foto. Kubaca sekali lagi surat dalam genggaman. Sungguh aku berharap wajah mirip hanya sekadar kebetulan, tapi nama suaminya serupa dengan nama yang kutemukan di kartu keanggotaan si pria cepak.

Aku tertunduk. Kuletakkan surat dan foto di dekat bantal, lalu mulai mengusap kening. Cahaya lampu menghasilkan bayanganku di tembok putih, seakan memang ingin menunjukkan sisi gelap di balik rasa kepahlawananku. Bayangan itu bergerak. Gerakannya yang serupa denganku seolah memberitahu bahwa dia adalah bagian tak terpisahkan.

***


Lihat selengkapnya