Pintu hijau itu berderit usil ketika aku dan Irul perlahan memasukinya. Kami berhenti. Sahabatku mengintip memastikan pemilik rumah tak menyadari kehadiran kami, sang dua pria asing. Setelah beberapa detik, tanda aman pun muncul lalu kami lanjut beraksi.
Rumah itu cukup luas. Aku tidak bisa bilang pemiliknya tampak seperti orang kaya karena perabotannya juga terlihat murah. Entah apa alasannya, lampu ruang tamu dibiarkan menyala menyinari dinding kuning sementara ruangan berikutnya gelap.
Tapak kaki kami telanjang menyelinap di atas ubin lantai abu-abu. Pelan. Telingaku memastikan kami tetap menghasilkan keheningan, baik dari langkah maupun gerakan lainnya. Irul memberi jeda ketika tiba di ambang pemisah ruangan. Setelah celinguk sejenak, Irul menoleh dan mengeluarkan jempol.
Namun, sebuah pukulan mendadak menghantam pipi Irul dari tepi kegelapan. Irul terpelanting. Aku tersentak. Ketika kutarik Irul bersiap melarikan diri, dia malah melepasku.
Pemilik bogem mentah lantas menunjukkan dirinya. Pria paruh baya sipit itu mendengus menghardik. Aku mulai panik. Alih-alih menyerah, Irul malah tampak semakin bersemangat. Diterjangnya si pria sipit lantas mereka bergulat dalam gelap.
Kususul hendak memberi bantuan pada sahabatku. Namun, sudut mataku tak sengaja menangkap cahaya di sebelah kanan. Aku menengok. Si gadis remaja yang tadi bersama ayahnya tengah berdiri di ruang makan dengan wajah ketakutan. Tak ada tindakan. Tak ada teriak.
Lantas kutuntun kakiku bergerak cepat. Gadis itu membeliak. Kubekap mulutnya dengan tanganku. Tenagaku jelas jauh lebih besar dari tubuh rampingnya, dan bisa kurasakan napasnya memburu menyentuh ibu jariku.
“Shhhh ...,” bisikku.
Alur pertarungan sahabatku dengan ayah sang gadis menghasilkan dentuman keras. Aku menoleh. Kulihat Irul sudah terpental ke ruang tamu, sementara si pria sipit mengganti sasarannya dengan menerjangku.
Semuanya berlangsung cepat. Tahu-tahu, punggungku sudah membentur sudut meja makan dan gadis itu berhasil lolos. Aku berteriak. Kulayangkan tendangan balasan ke lutut pria sipit, membuatnya menghantam keras ke dinding.
Cerobohnya diriku karena berpikir telah menang telak. Ketika aku tak sengaja mendapati gadis itu menangis, iba pun menyentuh. Kutenangkan dia. Ingin kusampaikan permintaan maafku, tapi tercegah oleh tusukan jarum suntik si pria sipit di dekat pundak kiri.
Kuatasi erang kesakitanku dengan berbalik hendak memukul. Percuma. Apa pun yang pria sipit itu suntikkan, efeknya mulai terasa meski jarumnya berhasil kusingkirkan.
Gerakanku berat. Kakiku terasa lemah hingga lututku menyentuh lantai. Pandanganku buram lalu berganti jelas, bergantian berulang. Suara sekitar mengecil. Aku masih sempat melihat Irul kembali berurusan dengan si pria sipit sebelum semuanya berubah gelap.
Suara derit dan tangis menjadi tamu pertama kesadaranku. Kubuka mata. Pipiku bersentuhan dengan ubin nan dingin. Nalarku masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Adalah kaki meja dan tembok pemberi informasi bahwa aku masih berada di rumah si pria sipit.
Kutopang tubuhku hingga berhasil duduk dengan isi kepala masih berputar. Kupijat pelipisku. Kemudian aku mendongak pada jam dinding tanpa suara yang menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Sekitar lima jam sejak aku melaksanakan aksiku bersama Irul.
Irama tak menentu derit diiringi tangis itu semakin kuat mengisi kesunyian. Bulu kudukku berdiri. Pikiranku mulai dibisiki bayangan tentang kuntilanak, apalagi setelah ingat Kota Cina bukanlah wilayah ramai. Andai aku lupa bahwa aku ke rumah itu bersama Irul, mungkin aku sudah persetan dan terbirit-birit keluar.
Naluriku langsung menuntun untuk mencari sahabatku. Aku berdiri. Aku menggeleng menepis kecurigaan yang timbul akibat suara pemicu imajinasi gaib. Tak butuh lama melacak sumbernya, dari pintu kedua di sebelah ruang makan.