Angin siang menyapa canggung di teras rumah, lalu pergi meninggalkan dua insan gelisah. Aku diam. Mataku hanya bisa melirik kursi kayu kosong di sebelah Bulan. Sementara istri tentara itu menampakkan wajah murung meski tampak elegan dalam kemeja hijau kecokelatannya. Tanganku tetap kusandarkan di kursi, berusaha keras menyembunyikan rasa bersalah.
Ibuku keluar dengan nampan berisi dua cangkir teh panas. Diletakkannya di meja. Beliau lantas melirikku, memberi isyarat agar tak macam-macam pada istri orang. Setelah aku mengangguk pelan, Ibu pun mempersilakan Bulan minum lalu bertolak ke dalam rumah.
Pasca 58 hari berlalu, pertemuan pertamaku dengan Bulan malah diisi dengan curahan hatinya. Rasanya aneh. Geram, cemburu, dan menyesal saling berebut posisi ketika cinta lamaku membahas suaminya. Membuatku semakin tak berani menatap wajah segitiga mantan kekasihku itu.
“Aku tidak tahu, Surya.” Suara Bulan mulai serak. “Dia cukup lama tak memberi kabar. Aku benar-benar takut dia bermain mata dengan wanita lain di seberang lautan sana.”
Aku tak memberi jawaban meski Bulan mulai terisak. Isak berubah menjadi tangis tersedu. Wajahku masam. Dari suara pun, aku sudah tahu Bulan benar-benar dilahap kesedihan mendalam. Kuingat baris kalimat Bulan dalam suratnya tentang persahabatan. Sangat ingin aku bersikap sportif andai bukan aku penyebab air matanya.
“Surya, apa kamu masih memiliki perasaan padaku?” tanya Bulan saat tangisnya mereda.
“Kamu sudah bersuami,” jawabku, “tidak etis jika kamu bertanya seperti itu.”
Tentu saja itu bukanlah jawaban yang sebenarnya, karena suami Bulan sudah lama mati akibat perbuatan nista tanganku.
“Lantas ... apa kamu membenciku?” tanya Bulan lagi setelah memberi jeda.
Aku menggeleng. “Memangnya harus?”
“Tidak apa jika kamu membenciku, Surya.” Bulan kembali terisak. “Jika suamiku ternyata sengaja menghilang akibat doa rasa sakitmu, maka kurasa pantas mendapatkannya.”
Kutatap Bulan dengan dahi mengerut. “Tidak, Bulan. Aku tidak bisa membencimu. Hanya saja ....”
Tak sanggup lidahku menyambung kalimat itu karena takut malah tanpa sengaja jadi pengakuan dosa. Kupalingkan wajahku. Kubiarkan Bulan dengan tanda tanya di wajah cantiknya yang berlinang air mata. Sesaat kemudian, Bulan bangkit.
“Baiklah kalau kamu tidak mau menjawabnya. Itu hakmu. Aku juga ke sini hanya untuk bicara dengan seseorang tentang masalahku. Terima kasih sudah sudi mendengarkan, Surya. Aku permisi.”
Mataku memutar arah memandangi punggung Bulan yang kian menjauh. Rasa bersalahku semakin menguat. Kucoba mengusir kegelisahan dengan membawa teh yang tak tersentuh kembali ke dapur.
“Filmnya sedih banget, Sur,” ucap Ibu membuatku hampir menjatuhkan nampan.
Aku menengok diiringi dengkus. Teganya Ibu bersembunyi di balik dinding menguping semua pembicaraanku dengan Bulan. Kuelus dadaku. Sementara beliau hanya berdiri menyilangkan tangan di dada daster cokelatnya.
“Jadi, kamu tidak membenci dia tapi apa?”
Aku menunduk. “Tidak usah dibahas lagi, Bu. Kasihan istri orang.”
Senyum tulus ibuku bisa tampak dari tutur lembutnya. “Tapi jangan begitu, Surya. Ibu tahu kalau kamu menyembunyikan sesuatu.”
Kulirik Ibu yang masih bisa menatap teduh meski kepalanya dibalut perban sisa operasi. Aku luluh. Sekali lagi kutahan lidahku dari melakukan pengakuan dosa. Aku tetap tidak ingin membohongi mata ikhlas wanita yang telah menghadirkanku ke dunia ini.