Teras menjalankan tugasnya menyimak pembicaraan tuan rumah dengan tamu. Tak ada angin. Meja pun kosong karena Ibu terkejut dua pria berlencana mendadak bersambang, dan Ayah sama kebingungan. Lima manusia duduk dengan ekspresi berbeda-beda.
Polisi pertama adalah pria kulit sawo matang berkumis tebal dengan tatapan cenderung bersahabat. Sementara rekannya tampak lebih muda dan bergelora memandang tajam padaku. Wajahku datar. Masih ada dendamku pada kaum mereka karena memori bentrokan bulan Mei. Namun, aku tetap mengerti prioritas.
Sementara ibuku menampakkan mimik resah, aku sibuk mendengar saksama perkataan polisi berkumis di depanku agar bisa menjawab tanpa menimbulkan kecurigaan.
“Saudara Irul Kala membentuk sebuah sindikat beranggotakan tiga orang. Dia pimpinannya. Mereka bertiga kerap berpindah kota untuk melakukan aksi. Untuk kegiatan mereka sendiri, sudah mulai kami endus sejak Desember dua tahun lalu.”
Aku masih menyimak. Belum ada perkataan yang membuatku patut khawatir. Polisi berkumis itu masih berusaha bertindak persuasif denganku dalam rangka menggali informasi.
“Apa benar Saudara Surya baru-baru ini bekerja bersama Irul?”
Aku mengangguk. “Betul, Pak. Di restoran.”
“Kenapa Saudara berhenti?”
“Gajinya tidak memuaskan.”
Giliran polisi berkumis itu manggut-manggut. Sayangnya, si polisi satu lagi tampak lebih teliti menginspeksi sesuatu pada Ibu. Menyebalkan.
“Gaji tidak memuaskan tapi sanggup bayar operasi ibunya, ya?”
Mendengar itu, tanganku bergetar ingin mengepal. Kujaga agar ekspresiku tetap datar. Aku pun berdusta. “Irul yang bantu pembayarannya.”
Si polisi muda menyilangkan tangan. “Wah, bahaya tuh. Bisa saja uang bantuan itu asalnya dari sumber haram, ‘kan?”
Aku menengok menenangkan Ayah yang nyaris meledakkan emosinya dalam bentuk bogem mentah. Itu wajar. Usia tak lagi muda bukan halangan bagi Ayah untuk melindungi kehormatan keluarga. Si polisi berkumis lantas menegur rekannya lalu meminta maaf pada kami.
Setelah bara api ketegangan padam, polisi berkumis itu pun kembali menjelaskan maksud mereka. Dia tersenyum. Katanya, aku tidak sedang dalam masalah. Sang aparat hanya memintaku untuk berbagi informasi terkait keberadaan Irul, yang sayangnya aku tidak terlalu berminat.
Namun, kujadikan kesempatan itu untuk balik mencari tahu jawaban pertanyaan atas tindakan sahabatku itu.
“Sebenarnya ... saya pernah bertemu dua teman Irul ketika pulang kerja, tapi saya tidak kenal mereka. Satunya kekar, satunya kurus.”
Polisi berkumis mengangguk. “Bisa jadi itu anggota komplotannya. Saudara harus hati-hati. Teman Anda sepertinya merekrut orang yang memiliki masalah keuangan. Dia sangat manipulatif.”