Dua kepala tergeletak di tegel lantai putih. Mulut mereka menganga. Mata tertutup. Sempat kurasakan dingin air yang menggenang di lantai dari bagian tubuh utama itu. Sepertinya si pria sipit memang memasukkannya ke dalam kotak pendingin agar tetap segar.
Aku tidak pernah berdialog dengan si penjaga pintu dan tukang bersih-bersih selama di Ujungpandang. Nama mereka pun tak kutahu. Tak ada iba. Hanya saja pemandangan di depanku benar-benar membuat bergidik. Potongannya jauh lebih rapi dari perbuatan Irul. Ingin sekali kutukar posisi dengan sahabatku itu, agar dia melihat keahlian seorang dokter asli. Dokter bedah, bisa kupastikan.
Kutengok pria sipit yang masih memandangiku dengan sisa luka kering di bibir dan pelipisnya. Aku masih gemetar. Dia mengepal, mendekat lalu melepas sumpalan mulutku. Kuambil napas. Tak berani aku mencaci karena bisa jadi aku berakhir seperti nasib dua pria kejam di dekat kakiku. Lagi pula, aku sadar si pria sipit melakukan itu bukan tanpa alasan.
Pria sipit menghela napas. “Saya sudah melacak kamu sejak malam itu. Tempat kerja, orang, semua cukup mudah saya dapat. Di sinilah saya.”
“S-saya minta maaf,” kataku seraya menunduk.
“Minta maaf tidak akan membuat putri saya hidup kembali,” balas pria sipit.
Aku mengangkat wajah. “Apa ... teman saya membunuhnya?”
“Dia bunuh diri. Perbuatan bejat temanmu saja sudah cukup membuat anak saya kehilangan semangat hidup!”
“Saya tahu orang itu biadab, Pak, makanya saya lari dari dia! Tolong, lepaskan saya!”
“Banyak omong kamu!” bentak pria sipit seraya memegang kerah kemejaku. “Kalau tahu biadab, harusnya kamu tidak ikut masuk ke rumah saya malam itu!”
Aku terdiam. Tak sanggup aku membantah karena ucapan si pria sipit memanglah fakta. Di situ aku tahu, ungkapan penyesalan tak akan membuat si pria sipit luluh karena terlanjur dimangsa dendam.
Pria sipit lalu melepas kemejaku, tapi tak berarti urusannya sudah selesai. Dia ke kanan. Kuamati dia mendekati meja putih di pojok ruangan. Sungguh pemandangan yang tidak asing. Terlebih ketika dia mengangkat pisau dengan berbagai macam ukuran dan bentuk.
Aku mulai panik dan kembali meronta. Percuma. Dia masih sibuk sambil membelakangi. Satu-satunya jalan yang bisa kutempuh adalah dengan bicara pada si pria sipit, berharap agar dia mau mengurungkan niatnya.
“Pak, teman saya bikin sindikat perdagangan organ—”
“Oh, saya tahu siapa kalian. Saya tahu yang kalian lakukan. Tidak masuk televisi, tapi beritanya sudah menyebar. Orang hilang ... pasti itu juga ulah kalian, tidak salah lagi.”
“Polisi juga sedang mencari dia, Pak!”
“Kerja saya lebih cepat dari polisi.” Pria sipit berbalik dengan pisau pilihannya. “Buktinya saya bisa melacak markas kalian, dan menghabisi dua teman kamu itu. Tinggal si berandal satu itu yang sangat licin.”
Aku menggeleng. “Bapak jadi pembunuh demi balas dendam?”
“Kamu sendiri jadi penjagal demi dapat uang, bukan?”
Nyawaku semakin terancam ketika pria sipit mulai mendekat. Pisaunya diangkat. Aku terus bicara, menyeru minta maaf serta melontarkan segala jenis bujukan. Dia tak peduli. Wajahku terasa dingin ketika pisau diarahkan ke bawah daguku.