Jalanan ibu kota sudah mulai sesak meski pagi belum terlalu menyilaukan mata. Bising. Pedagang asongan dan kenek Kopaja sama menyeru calon pemberi pundi. Di atas tanah kejam yang jadi pusat kemarahan rakyat empat bulan lalu, insan-insan berdosa menapak.
Bisa kukatakan nasib benar memihakku. Seakan Tuhan memang bermaksud melancarkan semua rencana dalam satu rentetan. Aku beruntung. Sulit kubayangkan konsekuensinya jika Irul tidak menelepon semalam, padahal rencana sudah kujabarkan.
Di bawah sinar pagi, aku dan si pria sipit berjalan beriringan. Sengaja pria itu menyembunyikan wajahnya dengan topi, kacamata hitam, dan sapu tangan untuk jaga diri dari sentimen etnis yang belum sepenuhnya reda. Dia menunduk. Digunakannya wajah lokalku sebagai tameng agar tak dicegat preman.
Namun, bukanlah para sampah masyarakat itu yang jadi keresahanku. Aku berkedip. Sudut mataku menemukan pria berbadan tegap berjaket kulit, berdiri santai sambil mengunyah di sebelah pilar toko seberang jalan. Dia si polisi muda.
Bola mataku lantas berputar ke arah lain, dan mengonfirmasi kehadiran polisi berkumis yang terlihat membaca koran di teras warung bakso. Kulirik pria sipit. Sampai langkahku sejajar dengannya, baru aku bisa berbisik.
“Polisi mengikuti kita. Panggil taksi!”
Si pria sipit tak neko-neko dan mengikuti instruksiku. Sebuah taksi menepi. Tak ada waktu mengintip, dan kuperintahkan dia lebih dulu berangkat. Kuberitahu lokasi tujuan pada sopir. Kemudian aku sendiri bergegas naik ke Kopaja yang terlihat mulai sesak dan siap melesat.
“Jalan, Bang!” pintaku.
“Oke, yok berangkat!” ucap si kenek dan diulang sopir.
Tak sampai sepuluh detik setelah aku duduk, Kopaja pun beranjak. Dari jendela, kulirik si polisi berkumis dilanda frustrasi dan memberi isyarat pada rekannya. Bus terus melaju. Sudah mustahil bagi dua polisi itu untuk menghentikannya.
Sayangnya, fokusku juga membelah diri karena terpikir akan si pria sipit. Dia orang Ujungpandang. Satu langkah yang salah bisa membuatnya nyasar atau berakhir jadi korban kejahatan. Namun, kubiarkan. Setidaknya kemampuan bertarung orang itu masih cukup mumpuni jika harus berurusan dengan satu sopir taksi.
Sebenarnya inti rencana kami cukup sederhana. Begitu Irul menyebut lokasinya, aku dan pria sipit akan langsung menuju ke sana lalu menyergap. Lebih seperti judi. Aku memberitahu informasi pada si pria sipit dengan modal harapan bahwa Irul benar-benar akan ada di tempat yang disebutkannya.
Kopaja kemudian berhenti di sebuah persimpangan dekat perumahan kumuh. Kakiku menjadi alat untuk menempuh lanjutan perjalanan. Cukup jauh. Kembara menuju titik sembunyi musuh membawaku semakin terasing dari wilayah manusia.
Hingga akhirnya aku tiba di perlintasan kereta terbengkalai nan sepi. Banyak belukar. Karat besi rel menyambutku yang kini celingak-celinguk mencari dua manusia siap tarung. Aku mulai gelisah. Ada rasa bersalah ketika menyadari si pria sipit belum menunjukkan diri.
“Surya!” seru seseorang di kejauhan.
Aku menyipitkan mata. Agak samar karena jarak, tapi aku bisa melihat sosok berkaos putih berjalan di atas rel. Itu Irul. Kubiarkan diri tak bergeming untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang butuh pertolongan.
Irul menghampiriku dengan semringah di wajah bulatnya. Ekspresi langka. Entah bagaimana kehidupan Irul sejak kutinggal di Ujungpandang. Tampangnya dipenuhi kerutan dan cekungan di bawah mata. Padahal sebelumnya aku hanya bisa melihat Irul dengan senyum tipis yang dia gunakan untuk memanipulasi.
“Surya ... kamu memang sahabat terbaikku.”
Kumasukkan tangan ke saku jaket. “Langsung saja ke intinya! Kamu ingin aku menolong seperti apa?”
“Kita harus membunuh si sipit itu!”