Ada banyak cerita dengan format serupa, yaitu kebaikan melawan kejahatan. Ending-nya yang berbeda. Entah itu si baik keluar sebagai pemenangnya, atau malah pihak jahat. Masalahnya, di dunia nyata tidak sesederhana itu. Pihak jahat tidak selalu merasa bahwa dirinya jahat. Pun yang baik kadang terlihat lebih kacau. Tergantung perspektif.
Sepanjang rel yang membisu, kuikuti langkah si lelaki berkulit kuning langsat. Wajahku serius. Tak ada kata keluar dari lisanku. Tanganku memegang bongkahan batu yang kuambil dari dekat rel, berjaga jika Irul melakukan tindakan aneh mendadak.
Irul terus mengajakku mengobrol mengenang hal unik semasa SMA. Termasuk perkelahian. Dia tertawa ketika bercerita tentang bagaimana aku mengalahkannya adu jotos perkara permen karet. Kalau diingat-ingat, memang waktu itu Irul sama sekali tak bisa berkelahi.
Sementara sanubariku terus bertanya apakah tindakanku sudah tepat. Ini tentang Bulan. Padahal dia bukan lagi orang spesial dalam hidupku karena telah menyandang status sebagai istri orang. Janda, tepatnya. Namun, aku masih bersikeras menolong saat mendengar Bulan dalam bahaya. Mungkin karena memang perasaanku belum padam.
Selain itu, perjalanan menyusuri rel juga membersitkan pertanyaan tambahan yang belum sempat kuajukan.
“Rul, kenapa kamu memanggilku?” tanyaku ketika perjalanan semakin jauh.
Irul tak menoleh. “Maksudnya?”
“Kamu berkunjung ke rumahku, mengajakku bekerja ... aku yakin itu bukan sebuah kebetulan. Apa yang kamu kejar?”
Sahabat berwajah bulatku menghentikan langkahnya. Kudengar dia terkekeh. Sesaat ia menengok memperlihatkan sudut matanya yang tenang. Kutunggu jawaban darinya, tapi tak kunjung datang.
“Kita sudah sampai,” ucap Irul menghindari pertanyaanku.
Aku bercelinguk memandangi area sekitar. Banyak gerbong terbengkalai. Berjejer membentuk kuburan kereta api, lengkap dengan rel yang sudah tak ada sambungan. Dinding kuning bercorak hijau gerbong menyimpan kado misteri.
Tak ada tanda kehidupan manusia di sekitar tempat itu. Preman pun nihil. Sepertinya para petugas pemerintah tak terlalu berminat mengurus sampah.
“Bulan ada di sekitar sini, Surya. Carilah dia.”
“Kamu ikut denganku, sialan!” perintahku sembari menarik kerah baju lelaki bejat itu.
“Ayolah, Surya!” Irul tertawa kecil. “Jangan perlakukan sahabat karibmu sekasar ini.”
“Jangan sebut aku sahabatmu lagi sampai aku menemukan Bulan dalam keadaan hidup!”
Namun, belum sampai sepuluh langkah aku berjalan, gangguan sudah muncul. Bukan polisi. Ternyata si pria sipit berhasil melacak keberadaan kami. Tanpa basa-basi, dilayangkannya pukulan yang memisahkanku dengan Irul.
Sekali lagi pertarungan terjadi. Si pria sipit tampaknya memang telah mempersiapkan diri untuk kesempatan kedua. Aku masih mengamati. Kusadari pada dasarnya perjanjianku dengan pria sipit sudah terpenuhi. Itu sudah cukup jadi alasanku untuk beranjak.
Dalam setiap pertarungan, sang pahlawan akan menghadapi bos terakhir. Aku pun begitu. Masalahnya, saat itu aku belum tahu siapa yang akan menjadi bos terakhir dalam ceritaku. Apakah si pria sipit, polisi, atau malah sahabatku sendiri.