Matahari menyambut ketika aku tampil di pintu dengan kaos putih polos dan celana panjang hitam. Mulai hangat. Aku bersendawa mengeluarkan bau kacang merah. Aktivitas sudah berjalan. Ibuku menapi beras dengan kepala sudah bebas perban, sedangkan ayahku menggergaji kayu. Tetangga juga sibuk dengan omelan pagi hari.
“Hati-hati, Nak,” ucap Ibu ketika kucium tangannya dan Ayah.
Senyum dua insan beruban mengantarkan langkahku meninggalkan pekarangan. Tas kecilku menyelempang. Aku berjalan mantap menyusuri jalan rusak dekat kantor lurah yang kini bambunya sudah gundul.
Sekarang 26 Desember. Aku kagum pada Pak Habibie yang mampu menekan inflasi dalam waktu cukup singkat. Negara mulai bangkit. Kabar baik pun menyebar bak spora jamur. Yah ... meskipun harus sedikit dicederai Tragedi Semanggi November kemarin.
Angkot biru menghampiriku yang bersiap menjemput rezeki. Aku naik. Kala angkot melaju, kupandangi gedung beratap hijau. Masih kokoh di tempatnya, tapi kuharap isinya akan segera berbeda.
“Mas, buku anatomi di mana, ya?” tanya seorang perempuan.
“Oh, di rak kiri nomor dua, Mbak,” jawabku dengan senyum sambil tetap fokus menata buku.
Inilah kehidupan baruku. Tak gemerlap. Cenderung biasa saja, tapi cukup memuaskan batin dan membungkam para penghujat. Masih ada hubungannya dengan sastra, tapi tak eksplisit menyentuh. Aku karyawan toko buku pinggir jalan.
Pekerjaan dari Haji Herman? Ayah benar. Aku membuang kesempatan. Namun, setidaknya aku dapat pengganti.
Ketika aku sibuk berkutat dengan daftar stok dan rak penempatan judul, seseorang mendekat. Aku menoleh. Pria paruh baya berkemeja kuning yang sedang berpura-pura mencari buku itu memasang wajah datar. Dia si pria sipit.
Kupastikan percakapan kami tak sampai terdengar orang lain.