Setengah Dekade Cinta

ibupertiwi
Chapter #3

Setengah Dekade Cinta - Kontrakan Tiga Petak #3

Hari itu genap satu tahun usia pernikahan Lena dan Riko. Seharusnya ada perayaan kecil, sekadar makan malam romantis atau saling bertukar kado sederhana. Namun suasana hati Riko tidak tenang. Selama setahun menikah, ia masih juga belum mendapatkan pekerjaan tetap. Meski Lena tak pernah mengeluh, rasa bersalah itu makin menumpuk.

“Len…,” ucap Riko pelan sambil menatap langit-langit kamar apartemen mereka, “kontrak apartemen ini tinggal sebentar lagi, kan?”

“Iya,” jawab Lena sambil melipat baju. “Akhir bulan harusnya sudah habis masa sewanya.”

Riko menghela napas panjang. “Aku nggak tega kalau harus lanjut di sini lagi. Kita bayar setahun penuh, tapi keuangan kita makin tipis. Aku rasa lebih baik cari tempat tinggal lain yang bisa dibayar bulanan. Jadi kalau sewaktu-waktu ada perubahan, kita nggak terlalu terikat.”

Lena terdiam sejenak, menimbang kata-kata suaminya. Pikirannya langsung melayang pada rapat daring minggu lalu. Wajah atasannya tampak kaku di layar laptop saat mengumumkan pemotongan gaji lima puluh persen untuk seluruh staf. "Pemasukan anjlok drastis," katanya dengan nada berat. "Buku-buku pelajaran tidak laku, event literasi dibatalkan, distribusi macet." Gaji penuh untuk staf pun jadi mustahil. Kata-kata itu kembali terngiang. Ada benarnya juga ucapan Riko.

“Maafkan aku ya, Len…” suara Riko bergetar. “Kalau saja aku cepat dapat kerja, kamu nggak perlu menanggung beban sebesar ini.”

Lena mendekat, menggenggam tangannya. “Hei, jangan ngomong gitu. Kita sudah berjuang sama-sama. Memang berat, tapi aku percaya kita bisa melewatinya.”

Meski kata-kata Lena menenangkan, Riko tetap merasa gagal. Malam itu, setelah memastikan istrinya tertidur pulas, ia diam-diam bangkit. Di sudut ruangan, ia membuka laptopnya. Cahaya kebiruan dari layar menyorot wajahnya yang lelah. Jemarinya lincah menari di atas papan tik, membuka tab demi tab situs lowongan kerja, mengirim email lamaran ke alamat mana pun yang tampak menjanjikan. Sudah ratusan yang ia kirim dalam beberapa bulan terakhir, namun jawabannya selalu sama, hening. Ia menutup laptop dengan helaan napas berat sebelum kembali berbaring. Rasa bersalah itu terasa seperti duri yang menusuk dadanya.

Keesokan harinya, mereka mulai mencari kontrakan baru. Proses pencarian itu ternyata tidak mudah. Di kontrakan pertama yang mereka lihat, ibu kos ramah sekali menyambut. Rumahnya cukup besar, terdiri dari beberapa petak. Namun saat mendengar harganya, Lena dan Riko saling pandang.

“Maaf, Bu… kayaknya agak di luar budget kami,” ucap Riko sopan.

Ibu kos hanya tersenyum, “Ya sudah, mungkin belum jodoh di sini.”

Mereka pun melanjutkan pencarian.

Di tempat kedua, suasananya agak berbeda. Lingkungan padat, banyak anak-anak kecil berlarian. Kontrakan sempit, dindingnya penuh coretan, kamar mandi hanya satu untuk tiga petak.

“Mas, kalau kita tinggal di sini, kamu siap tiap pagi ngantri mandi?” bisik Lena sambil menutup hidung karena bau got di belakang rumah.

Riko menahan tawa. “Ya ampun, kayaknya kita bakal lebih sering ribut sama tetangga daripada bahagia.”

Lihat selengkapnya