Tiga bulan sudah Riko dan Lena tinggal di kontrakan. Pagi itu, Riko menatap layar ponselnya yang kosong sambil menyeruput kopi. “Belum ada email balasan,” gumamnya pelan.
Lena yang sedang menyiapkan orek tempe di dapur sempit mereka menoleh. Ia bisa mendengar nada putus asa dalam suaranya. “Sabar, Mas. Kadang perusahaan besar memang lama prosesnya. Lagipula, baru seminggu sejak interview,” tanyanya lembut.
Riko mengangguk lemah. “Iya, tapi kalau memang nggak lolos, biasanya mereka kasih tahu lebih cepat. Kalau didiamkan begini, aku jadi makin cemas.”
Keuangan mereka memang makin menipis. Tabungan pernikahan hanya tersisa untuk membayar kontrakan bulan depan. Merasa tak tega, Lena duduk di sebelah suaminya. “Mas, apa nggak sebaiknya cerita aja sama Bapak sama Ibu? Mereka berhak tahu keadaanmu sekarang.”
Riko menarik napas panjang. “Aku takut bikin mereka kecewa, Len. Selama ini aku selalu jadi anak yang bisa mereka banggakan. Lulus kuliah langsung kerja, nggak pernah nganggur. Sekarang… malah begini.”
“Justru itu, Mas,” Lena menggenggam tangan suaminya. “Daripada nanti dengar dari orang lain, kan lebih baik dari kamu sendiri. Mereka orang tuamu, sekecewa apa pun, mereka pasti akan tetap peduli.”
Malam harinya, Riko memberanikan diri menelepon ayahnya. Jantungnya berdebar kencang. “Pak… sebenernya, aku udah tujuh bulan nggak kerja.”
Hening sesaat. Lalu suara ayahnya meninggi, terdengar tajam dan kecewa. “Apa? Tujuh bulan? Kok baru cerita sekarang?! Kamu pikir hidup berumah tangga itu gampang?!”
“Ko, anakku… Jangan dipendam sendiri,” suara ibunya terdengar lembut. “Kami kaget, iya, tapi kamu tetap anak kami. Rezeki itu ada yang ngatur. Jangan pernah menyerah, terus berdoa.” Air mata Riko akhirnya menetes. Setelah panggilan itu, ia bersandar di dinding, memejamkan mata sejenak, merasakan beban berat di pundaknya akhirnya terangkat.
Beberapa hari sebelumnya, ia memang menjalani wawancara daring dengan sebuah perusahaan logistik besar. Dalam wawancara itu, Riko dengan percaya diri menjelaskan reputasi kerjanya yang impresif selama lebih dari empat tahun bekerja, dari posisi koordinator hingga akhirnya menjabat sebagai Manajer Supply Chain sebelum akhirnya resign. Pihak HRD tampak terkesan dan berjanji akan mempertimbangkannya lebih lanjut.
Seminggu penuh Riko menunggu. Setiap getar ponsel membuatnya terlonjak. Hingga suatu sore, tepat sehari setelah ia menelepon orang tuanya, sebuah notifikasi email masuk: “Penawaran Kerja - PT Logistik Jaya Abadi”.
Tangannya gemetar saat membukanya. Ia lolos. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat rincian gaji. “Aku diterima, Len…” ucapnya ragu, nadanya campur aduk. Ia menyerahkan ponselnya pada Lena. “Posisinya sama, Manajer. Tapi… gajinya selisih hampir satu juta dari pekerjaanku yang dulu.”
Lena membaca penawaran itu dengan saksama. Ia mengerti sumber keraguan suaminya. “Mas, dengerin aku,” katanya lembut sambil meraih tangan Riko. “Iya, memang ada selisih. Tapi coba lihat sisi baiknya. Di tengah situasi kayak gini, dapat tawaran posisi manajer itu sudah rezeki yang luar biasa. Banyak orang susah cari kerja lagi.”