Setengah Dekade Cinta

ibupertiwi
Chapter #5

Setengah Dekade Cinta - Persimpangan #5

Lena melangkah keluar dari pintu kontrakannya menuju parkiran bersama. Di antara beberapa motor, mobil mungilnya yang setia terparkir di sana. Begitu mesin dinyalakan, jantungnya ikut berdebar seirama deru mesin. Di luar, malam membentang pekat. Mobil itu terasa sedikit bergetar, seolah ikut merasakan gelisahnya.

Malam ini, ia akan menjemput Riko yang akhirnya pulang setelah sebulan penuh menjalani training di Jakarta. Seharusnya Riko terbang besok pagi, sama seperti saat ia berangkat. Namun, sebuah pesan singkat tadi siang menjelaskan semuanya: "Aku naik bus saja, Len. Nggak sabar mau pulang malam ini juga." Ketidaksabaran Riko itu menular, membuat Lena ikut-ikutan cemas.

Namun, perjalanan menuju terminal tidak semulus bayangannya. Akibat aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), banyak portal di sekitar kontrakan mereka ditutup. Lena terpaksa memutar-mutar, berkali-kali menemui jalan buntu.

“Ya Allah… muter lagi?!” omelnya sendirian, jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan tidak sabar. Google Maps di ponselnya tetap keras kepala, menuntunnya ke gang-gang sempit yang mustahil dilewati. Saat ia dipaksa mundur perlahan, beberapa anak kecil yang duduk di pinggir jalan tertawa cekikikan.

“Dikira aku lagi belajar nyetir apa gimana,” gumamnya, antara jengkel dan geli sendiri.

Setelah hampir setengah jam bermain ular tangga dengan jalanan kota, akhirnya lampu-lampu terminal terlihat. Dari kejauhan, Lena melihat sosok Riko turun dari bus, menenteng ransel di bahunya. Begitu mata mereka bertemu, senyum lega yang tulus merekah di wajah keduanya.

Riko membuka pintu, meletakkan tas di kursi belakang, lalu menatap Lena dengan sorot mata penuh rindu. “Kamu nyasar, ya?”

Lena langsung memasang wajah cemberut yang dibuat-buat. “Jangan tanya. Aku tadi hampir masuk jalan buntu tiga kali.”

Riko tertawa lepas, suara yang sudah sebulan ini dirindukannya. “Untung mobil kita kecil. Kalau gede, mungkin kamu sudah ditarik warga buat kerja bakti mindahin portal.”

Lena mendengus, tapi tak bisa menahan senyum malunya. “Iya, iya… yang penting kamu sudah pulang.”

Mereka berpelukan singkat, canggung namun hangat, di dalam ruang sempit mobil itu. Rindu yang menumpuk sebulan penuh akhirnya menemukan muaranya.

Tiga hari setelah kepulangannya, Riko resmi bekerja di kantor cabang baru di Semarang. Posisinya yang strategis dalam menangani operasional logistik itu memang tak berubah dari sebelumnya, tapi raut syukur di wajahnya tak bisa disembunyikan. Ia kembali punya rutinitas: mengenakan kemeja rapi setiap pagi dan pulang membawa cerita baru setiap sore. Meskipun cerita itu sering kali terlambat karena lembur.

Sebagai manajer, Riko bertanggung jawab penuh atas segala persiapan operasional gudang, alur distribusi, dan penataan armada sebelum acara pembukaan. Suasana kantor cabang itu riuh, dipenuhi kotak-kotak kargo yang belum tertata dan debu sisa renovasi. Hampir setiap malam, ia baru bisa meninggalkan kantor lewat jam delapan malam demi memastikan semua sistem berjalan sebelum grand opening.

“Gimana hari pertama? Malam ini pulang jam berapa?” tanya Lena suatu sore sambil menuangkan teh hangat, melihat Riko yang baru tiba dengan raut lelah.

“Luar biasa. Kantornya masih berantakan, gudangnya masih kita susun, tapi timnya anak-anak muda semua yang semangatnya kayak traktor,” jawab Riko sambil terkekeh pelan. “Aku jadi berasa paling tua. Aku mungkin bakal sering lembur untuk dua minggu ke depan, sampai pembukaan rampung. Tapi aku suka, Len. Rasanya kayak mulai dari nol lagi, bangun semuanya dari awal.”

Lihat selengkapnya