Waktu berlalu tanpa terasa. Kontrakan kecil di Semarang menjadi saksi bisu dari maraton melamar kerja Riko yang melelahkan dan keheningan Lena yang menahan hasil lab suaminya. Hari-hari mereka dipenuhi harapan yang tipis, dibalut tawa renyah saat Riko membantu menyortir tumpukan naskah dari penerbit tempat Lena bekerja.
Kini, akhir tahun 2022 tiba. Setelah hampir dua bulan menjalani masa in-between tanpa penghasilan stabil, mereka memutuskan untuk pulang ke kampung halaman Lena. Mereka merasa perlu mengisi ulang energi di lingkungan yang mereka yakini penuh cinta tanpa penghakiman.
Riko mengemudikan mobilnya dengan hati berat. Mereka belum pernah menceritakan detail pahit tentang resign-nya Riko, apalagi tentang uang ganti rugi yang menguras tabungan, kepada kedua Ayah dan Ibu Lena.
Sesampainya di rumah, suasana hangat langsung menyambut. Setelah ritual cium tangan dan obrolan basa-basi tentang Lebaran yang sudah lewat, Riko memberanikan diri.
Malam itu, setelah makan malam, mereka duduk santai di teras belakang. Riko memulai ceritanya dengan suara pelan, hampir berbisik. Ia menceritakan fitnah di kantor, ganti rugi uang, dan keputusan mendadak untuk mundur.
"Maaf, Pak, Bu," Riko menunduk dalam. "Saya gagal menjaga rezeki yang sudah ada. Saya minta maaf karena harus membuat Lena ikut merasakan kesulitan ini."
Ayah Lena, seorang pensiunan yang bijaksana, hanya menepuk bahu Riko. Ibu Lena mendekat, mengusap punggung menantunya.
"Kamu tidak gagal, Riko," kata Ayah Lena dengan suara tenang. "Kamu memilih keluar dari tempat yang tidak menghargaimu. Itu namanya menjaga harga diri. Uang bisa dicari, kesehatan mental itu yang mahal."
Ibu Lena menimpali, "Yang penting kalian berdua baik-baik saja, tidak bertengkar, dan tetap berdua. Kami hanya bisa berdoa. Tidak perlu diceritakan ke siapa-siapa, cukup kami yang tahu. Fokus sekarang, cari yang baru."