Hari-hari kembali berputar pada rutinitas yang familier, namun kali ini terasa lebih sunyi dan penuh kewaspadaan. Lena kembali ke kantor penerbitnya, mencari kesibukan di antara tumpukan naskah untuk mengalihkan pikiran dari duka kehilangan janin yang tak sempat ia sadari. Sementara Riko, ia kembali menjadi 'pencari kerja profesional' di kontrakan kecil mereka.
Kini, bukan hanya masalah pekerjaan, tetapi juga ada luka emosional yang harus mereka sembuhkan.
Tiga bulan setelah Riko resign, sebuah kabar mengejutkan datang dari mantan rekan kerjanya di Semarang. Perusahaan logistik yang ia rintis cabangnya dengan susah payah itu ternyata resmi tutup karena masalah internal yang jauh lebih besar dari sekadar penurunan omzet.
"Bukan cuma omzet yang tidak bagus, Mas," kata teman Riko melalui telepon. "Ternyata ada kasus fraud besar, penggelapan uang yang dilakukan oleh beberapa staf lama dari kantor pusat. Itu yang bikin dana pengembangan cabang kita selalu tertahan."
Tidak lama setelah itu, mantan atasan Riko yang dulu meminta Riko untuk resign tiba-tiba menghubunginya.
"Riko, saya minta maaf. Saya salah menilai kamu," ujar mantan atasan Riko dengan suara menyesal. "Semua laporan yang kamu kirim tentang pengawasan dana dan kebutuhan support ternyata benar. Kami tertipu oleh tim lama di Jakarta. Kamu tidak kurang berkontribusi. Justru tim pusat yang korup membuat cabang Semarang gagal."
Riko menutup telepon. Ia tidak merasakan kemarahan, hanya kelegaan yang besar. Beban di hatinya yang selalu bertanya "Apa yang salah denganku?" kini terangkat. Ia tidak gagal. Ia hanya berada di lingkungan yang rusak.
Enam bulan berlalu sejak ia menganggur. Riko menyadari bahwa mencari pekerjaan di level Manajer Area adalah maraton, bukan lari cepat.