Pagi di kontrakan baru itu terasa damai. Setelah sarapan, Lena dan Riko duduk di teras belakang, menikmati secangkir kopi hangat. Udara pagi yang sejuk menyentuh kulit, menenangkan.
Lena sudah mengumpulkan niat berhari-hari untuk berbicara lebih detail, melengkapi kejujuran yang ia mulai semalam. Dengan sedikit takut, ia membuka pembicaraan.
"Mas, aku mau cerita semua dari awal. Maaf kalau aku takut banget sampai harus menyembunyikan hasilnya selama ini," Lena memulai, suaranya pelan. Ia menceritakan setiap detail: ketakutannya saat membuka amplop, bagaimana ia menahan diri untuk tidak menangis di depan Riko, dan keputusannya membatalkan HSG demi menghindari beban tambahan pada suaminya.
Air mata Lena mulai menetes. Ia menunduk. "Aku benar-benar minta maaf, Mas. Aku egois, aku mau kamu fokus di kantor, tapi aku malah berbohong tentang hal sepenting ini."
Riko mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, dan tidak memotong sedikit pun. Setelah Lena selesai, Riko meraih tangannya.
"Aku juga minta maaf ya, Len," kata Riko, tawa kecilnya terdengar meredakan ketegangan. "Maaf kalau kemarin aku terlalu sibuk dengan urusan kantor sampai nggak melihat kekhawatiranmu. Maaf kalau aku terlalu sering ngeluh, sampai membuatmu merasa aku nggak sanggup menanggung beban ini."
Mereka tertawa kecil, suasana itu terasa seperti hari Lebaran kedua, momen saling memaafkan tanpa beban.
"Aku tahu, Len. Aku tahu kamu sering beli test pack diam-diam," Riko mengakui. "Aku nggak pernah bertanya, karena aku tahu itu caramu berjuang. Itu wajar. Aku nggak mau nambahin beban dengan menanyakan hal itu terus-terusan. Itu hak kamu untuk menjaga rahasia itu, kalau memang itu yang bikin kamu kuat."