Setengah Diriku Memeluk

Jessica Laureen.C
Chapter #1

Bab 1

Aku pernah memimpikan suatu hal yang menakjubkan. Aku dan kami sekeluarga bermain pasir dan semuanya berlari sana sini. Kami dipenuhi banyak debu pasir dan bersedia meluncur ke pantai untuk mandi. Segar, tapi sesak banyak orang. Kami saling berhimpit satu sama lain karena tidak ada pembatas. Senggol pundak mungkin marah, tapi ayah tidak. Ia justru berkenalan dengan mereka. Tertawa bersama. Dari yang hanya berdua, tiba-tiba memanggil saudara lainnya untuk bergabung. Tertawa bersama lagi. Anehnya di mimpiku ketawa itu berubah menjadi teriakan keras yang ingin melahapku. Aku takut dan mencari jalan keluar untuk pulang. Aku melewati jalan berbatu terus tiada henti, kakiku berdarah dan aku bisa merasakan kulit kakiku terkelupas. Aku ingin menangis, tapi tidak ada siapa-siapa. Sampai aku melihat bayangan ibuku.

Aku terbangun dari mimpi dengan dengungan dari kuping yang keras. Entah kenapa, aku merasakan ketakutan yang belum pernah kutemui. Seketika, ibu datang ke kamar dan kaget saat melihatku belum bersiap-siap, “Kamu ngapain? Ayo, ganti baju. Kan mau ke pantai.”

Aku yang masih bingung berusaha melihat sekeliling seperti bantal, guling, coretan di dinding, sampai baju renang yang digantung di depan lemari. Seketika ingatanku melesat begitu cepat.

Pada hari Selasa, 15 Mei 1961, aku bersama keluarga memutuskan pergi ke pantai entah namanya apa. Aku langsung bergembira, mama senang karena ia langsung menanyakan apa saja yang perlu disiapkan, ayah mengoceh panjang lebar terkait keadaan pantai, aku berimajinasi minum air laut dan makan ikan yang banyak, ayah bilang besok kita berangkat, kami semua langsung tidur.

Aku langsung cerah kembali dengan gerakanku seperti mesin cuci yang berputar cepat, jauh lebih cepat daripada gerakan ibu, jauh lebih cepat daripada gerakan tiupan angin. Ah, bukan. Maafkan aku, aku tidak bermaksud melawan alam.

Semuanya sudah siap mulai dari peralatan piknik, baju renang, sampai baju untuk menginap di hotel. Ibu berpakaian agak norak di mataku, ia memakai topi besar, kacamata hitam, sampai membawa pelampung bebek kuning. Nenek seperti biasa tampil dengan daster panjang bermotif batik, aku sungguh tidak menyukai pakaiannya yang monoton. Ayah yang paling siap rupanya, ia sudah ada di pengemudi sejak tadi malam. Kami semua kaget mendengarnya dan langsung tertawa. Saat keluar dari pagar rumah, aku bisa merasakan embusan angin menerpaku, mereka menandakan bahwa perjalanan ini akan lancar jaya.

Aku melewati berbagai rumah orang yang beraktivitas senang di pagi hari, berjemur pakaian, merawat anak mereka masing-masing, tertawa bersama tetangga membuatku semakin yakin bahwa hari ini akan lancar jaya. Setelah melewati rumah warga, kami menanjak ke atas bukit. Kami sudah meninggalkan rumah warga dan ibu mulai curiga dengan perjalanan kami. Ia sedikit panik, tapi berusaha menanyakan dengan setenang mungkin. Tapi, nenek bilang bahwa ibu hanya mengganggu fokus ayah saat menyetir. Ibu pun langsung diam. Kami semua diam sampai melihat indahnya pantai di depan mata. Ibu senang sekali karena pantainya tidak ada orang seperti milik kita saja. Ayah mengiyakan dengan mengangguk. Sementara nenek biasa saja. Aku juga senang, tapi sekaligus takut karena membayangkan meminta pertolongan dan tidak ada siapapun disana.

Sesampainya disana, aku langsung keluar dengan tidak memakai sandal. Aku ingin membiarkan kakiku geli akan pasir yang menusuk setiap pergerakanku. Melempar pasir dengan kekuatan kaki kiriku, ternyata kaki kananku juga tidak mau kalah. Mereka melempar pasir mendekati jejak kakiku yang menyentuh gelombang laut. Akhirnya kakiku merasa puas dengan lemparan yang menjulang tinggi tadi. Ibu dan ayah membantu nenek turun dari mobil dengan hati-hati, tapi tampak dari kejauhan mereka berbincang sambil tertawa-tawa. Aku senang dengan mereka yang bergembira mengikuti cuaca hari ini. Cuaca panas terik justru kita harus bersenang-senang karena kita bisa melihat bunga yang indah, senyum orang-orang yang terkena matahari menambah kecantikan dan ketampanan mereka, kaca yang berkilau pada setiap bangunan tinggi di Jakarta, pohon-pohon yang menawarkan jasa sejuk di bawah kursi. Ah, bukankah ini hari terbaik yang pernah ada? Aku sangat bersyukur hari ini!

Aku meloncat ke laut seperti orang yang rindu akan kampung halamannya. Kampung halaman keduaku adalah laut. Walau aku tak mengenal penghuni asli dari laut, tapi laut bisa menghiburku dengan deruan ombaknya yang keras. Aku masing ingat perjumpaanku dengan laut, aku masih bingung kenapa ia maju menghadapiku terus-menerus? Seakan-akan ia mau menantangku untuk menangkapnya kalau bisa. Aku terima tantangannya, tanganku langsung menghantam buih laut yang maju ke depan. AHA! Aku dapat menangkapmu laut! Aku bahkan mungkin bisa menaklukkanmu sekarang! Tapi, laut malah tertawa terbahak-bahak karena artinya kau harus menaklukkan seluruh dunia. Mulai dari Samudra Atlantik, Samudra Pasifik, Samudra Hindia, Samudra Antartika, Samudra Arktik. Apakah kau sanggup? Mungkin kau harus mencari sampai usiamu sudah tua. Aku menjadi takut karena dipenuhi berbagai imajinasi saat tua nanti. Sekarang berganti lagi, bagaimana jika aku tenggelam dan tidak ada yang bersedia menolong? Tidak atau lebih parah aku bisa mati muda. Aku tidak mau!

Lihat selengkapnya