________________________________________________________________________________
Aku mendatangi lagi jalan panjang yang luas itu sambil membawa PR Bahasa Indonesia. Suasananya sepi, walau ada rumah yang tidak jauh dari sini, aku tetap tidak bisa mendengar aktivitas mereka, seakan aku masuk ke dunia yang berbeda. Dunia yang mungkin aku inginkan selama ini. Pertama, mungkin aku harus mencari tempat untuk mengerjakan PR. Aku mulai berjalan 5 langkah di tengah jalanan, kemudian aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku. Ada kawanan semut yang melintasi dari semak sebelah kiri, melintasi jalan, sampai ke jalan yang berlawanan arah. Aku merasa semut adalah makhluk yang pintar! Mereka memanfaatkan jalanan yang sepi ini untuk membawa makanan mereka. Selama ini, aku menganggap semut adalah makhluk yang bisa menggigit tubuh manusia saja. Pernah suatu ketika aku sedang menyimpan makanan di atas lemari, aku pikir karena semut tidak akan sampai ke atas lemari tersebut, tapi ternyata mereka telah memakannya hingga separuh. Saat aku mengangkatnya, mereka langsung jalan bersama ke jari tanganku. Aku hampir saja menjatuhkan makanan ke tong sampah karena takut mereka mencapai telingaku. Saat itu, aku merasa semut sangat tidak beradab. Mereka rela mengambil kepunyaan siapapun bahkan jika itu adalah manusia. Tapi aku salah sekarang. Mereka tidak selalu seperti itu.
Kumulai perjalanan lagi dan mungkin berusaha melihat lagi kawanan semut tersebut untuk terakhir kalinya. Aku tidak mau untuk terus melihat ke belakang. Ada sekitar 30 menit sudah berjalan, tapi aku merasa sudah lelah. Rasanya jalanan ini tidak akan membantuku sama sekali. Tapi, saat aku mulai melihat lagi apa yang ada di depan mata, dari jauh tampak sebuah jembatan besar yang menghubungkan kedua tempat! Kakiku tidak terasa berat lagi dan angin yang menyertaiku seperti membawaku lebih cepat menuju jembatan tersebut. Saat kulihat lebih dekat ternyata jembatan tersebut jauh lebih besar, baru pertama kali kulihat ada jembatan sebesar ini. Oh, apakah artinya aku bisa melihat seluruh jalan panjang ini? Aku langsung menaiki tangga dan pemandangan itu satu-satu menyambung hingga membentuk sebuah pemandangan yang utuh. Astaga, aku tidak perlu ke gunung kalau melihat seperti ini saja membuatku gembira sekali.
Aku mengeluarkan buku dan mengerjakan PRku disana sesuai tugasku hari ini. Aku sampai membuat kertas buku agak basah karena tanganku mengeluarkan keringat.
“Oh, bukankah ini namanya kepingan dunia yang kecil. Rasanya aku menjadikan semuanya baik dan terhindar dari malapetaka.” Apakah seperti ini cara orang berpuitis berbicara? Aku bingung menulisnya seperti apa buat PR. Guruku seharusnya sudah tahu bukan bahwa alam itu sendiri sudah puitis. Tidak perlu pakai kata-kata indah seperti ini, cukup nikmati saja.
________________________________________________________________________________
Aku balik kembali mengunjungi aktivitasku yang lama, yaitu bersekolah. Saat ini usiaku sudah menginjak remaja usia 15 tahun. Rasanya aneh tidak, kau ingin sekolahmu ada di dekat pantai? Aku ingin sekali menatap laut setiap hari, tapi aku tahu Jakarta bukan kota pantai. Aku bersekolah pada hari Sabtu dan setiap pagi ibuku yang selalu mengantar ke sekolah. Ayah bekerja mulai dari jam 6 memakai motor Honda, kadang diantar oleh ayah juga jika ada acara sekolah di pagi hari. Aku paling senang ketika ayah menunjuk berbagai tempat di kota Jakarta.
“Rajacenna lihat! Bangunan itu di zaman ayah belum ada. Tinggi sekali bukan?”
“Ayah ayo kesana!”
Sementara ibu selalu membeliku jajanan pasar memakai mobil dan terkadang sampai membeli banyak sekali makanan. Pasti yang selalu habiskan adalah ibu dan aku. Ayah tidak suka jajanan manis. Kali ini entah mengapa ibu agak telat bangun. Biasanya ibu selalu bangun paling pagi untuk menyiapkan bekalku. Awalnya aku tidak berani mengetok pintu ibu, tapi melihat jam sudah segini, mau tidak mau aku memberanikan diri.
“Ibu, bangun. Aku sudah telat!”
Ibu perlahan mulai membuka matanya dan ada raut kebingungan di mukanya.
“Ini jam berapa?”
“Jam 7 bu!”
“Astaga! Kok, kamu gak bangunin sih?”
Saat dalam perjalanan menuju sekolah, ibu tetap menyempatkan waktu untuk membeli jajanan pasar. Walau aku kurang terbiasa makan jajanan pasar saat siang hari, tapi aku mengerti. Ia tidak mau aku kelaparan saat sekolah nanti. Aku mengucapkan terima kasih dan menyalami ibu. Sepanjang perjalanan raut muka ibu terlihat bersalah, tapi kejadian tadi kan tidak sengaja. Aku tidak mengerti mengapa ia begitu bersalah dan khawatir.
Sekolahku hadir bersama pepohonan yang hijau, suara teriakan ketawa yang menyatu dengan tembok, dan setiap langkah kaki guru membuat siswa takut, senang, juga bimbang. Kursinya yang keras membuat pantatku seperti terkena hantaman batu saat menanjaki pegunungan. Terkadang teman sebelahku si Sucipto sampai gak bisa berdiri karena terlalu lama duduk. Kalau si Dolan dia suka buat alasan, pernah dia bawa bantal ke sekolah. Katanya sih untuk tempat duduk kucing agar semakin betah di sekolah. Tapi nyatanya hanya dipakai untuk dia duduk di kuris yang sangat keras itu. Caranya agar tidak ketahuan adalah membuat bantal setipis mungkin sehingga ketinggiannya tidak menambah dan terakhir mencat bantal senada dengan warna kursi. Dolan berhasil membuat semua guru tidak memperhatikannya dan membuat semua teman untuk merahasiakannya. Seluruh kelas mendukungnya termasuk aku. Itu sesuatu yang nyaman dan lucu ketika kita tahu faktanya, sementara guru tidak. Tapi, aku tidak bisa meniru tindakannya karena aku ingin menjadi seperti ayah. Ingat bukan? Semuanya harus dimulai dari tindakan kecil sebelum ke hal yang besar. Aku mau menjadi pribadi yang tidak mengecewakan guru. Aku mau membanggakan mereka.
Hari ini aku ujian bahasa inggris dan semua anak tampak tegang untuk menjawab soal karena tidak mengerti. Bu Linda selalu memberi soal yang sulit sampai aku sendiri harus belajar beberapa kata di kamus agar mengerti maksudnya seperti apa. Terkadang berhasil dan terkadang tidak. Tapi, kali ini aku harus serius agar bisa membanggakan orang tuaku. Hal kecil yang bisa membuat hari mereka senang. Aku sudah selesai mengerjakan semua soal dalam waktu 35 menit. Seperti biasa, aku mencoba mencek kembali apakah sudah benar jawabannya atau tidak. Setelah aku yakin, aku berdoa agar nilai yang kudapatkan bisa 100. Aku mungkin bukan anak baik bu Linda, tapi semoga bu Linda melihat hasil usahaku.
Sekitar 5 hari kemudian, hasil nilai ujian keluar dan ternyata aku berhasil mendapatkan nilai 100 dan mengalahkan anak-anak pintar lainnya. Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan mengalahkan anak pintar lainnya. Ini tentu adalah berita yang harus kuberitahu pada ibu. Aku sebenarnya ingin melompat setinggi awan kalau bisa, tapi aku malu pada sekitar bahwa aku akan dianggap orang gila. Jadinya, kubiarkan hatiku saja yang melompat setinggi otak.