Keesokan harinya, aku masuk dalam kamar ibu saat pagi hari. Ibu masih tidur nyenyak dalam selimut biru beruangnya. Aku memasukkan berbagai jajanan pasar ke tas belanja pasar ibu di samping dompet dan buku catatannya. Mungkin tidak bisa mengembalikan keseluruhan kebahagiaan ibu, tapi semoga bisa membuatnya tersenyum sebentar. Namun, aku bisa merasakan ibu terbangun secara perlahan dan dia mengatakan, “Rajacenna, kau tidak usah membeli jajanan pasar sebagai ganti. Ibu tidak meminta kamu untuk mengganti, ibu hanya ingin kamu mengerti jangan makan milik punya orang lain tanpa seizin mereka. Itu saja. Jadi, ibu tidak akan memakannya. Buatmu saja untuk sarapan.”
Manusia harus bersyukur dalam keadaan apapun. Aku pikir itulah yang menjadi pedoman hidup ibu. Ia selama ini menyebut kata bersyukur dalam setiap nasihatnya, suatu hal yang ajaib layaknya obat yang bisa menyembuhkan segala hal. Namun sekarang, rasa bersyukur itu dimakan oleh kemarahan yang menguasai ibu. Aku merasa sedih mengapa ibu tidak bersyukur diberi pembalasan yang baik. Padahal seperti kata ayah bahwa kita harus memulai dari hal kecil, lalu lanjut ke hal yang besar. Sekali lagi, mungkin sama seperti ayah. Ia akan berubah pikirku, tapi hatiku bimbang akan sifat kedua orang tuaku.
Di tengah ketidakyakinan, muncul dari dalam otak bahwa aku harus mencari orang yang bersyukur dan dapat mengerti pemberianku. Tidak mungkin semua orang tidak ada yang sama dengan pemikiranku, pasti ada 1 orang. Siapa tahu dari pemikirannya kita bisa mengembangkan banyak hal. Mungkin aku bisa menjelajahi aneka rumah dan bertemu banyak orang yang asik.
Seusai pulang sekolah, aku melihat suatu truk terparkir di depan gang dekat satpam dan warung kecil milik Pak Yusuf. Aku merasa tertarik karena aku jarang melihat truk terparkir dalam wilayah perumahan ini. Ia terlihat sangat besar melewati tinggi rumah, kemudian aku tertawa karena memikirkan bisa jadi ini adalah milik tuan raksasa dan dia mau berkunjung ke sini karena ia ada rapat penting. Lantas, aku berusaha melihat berbagai hal menarik yang mungkin aku bisa temukan. Ada sisa makanan tersangkut di bawah kendaraan, ada foto perempuan di dalam tempat duduknya, ada selimut kecil yang terlipat dalam kotak sepertinya ia mencoba berusaha keluar. Saat aku mengintip sedikit dari dalam, aku melihat sebuah bapak-bapak sedang minum kopi di warung Pak Yusuf. Aku merasa aneh karena ia sedang berbincang dengan Pak Yusuf dengan santai. Aku mencoba menghampirinya dan menyapa dengan tenang.
“Bapak yang menyetir truk ini?”
“Yaa, adik. Adik, namanya siapa?”
“Rajacenna Ngaditmo”
“Eh, keren loh namanya. Bapak gak pernah denger sebelumnya. Kamu mau naik truknya?”
“Kalau boleh, tapi hanya sebentar ya pak. Bapak asal mana?”
“Asal Bogor. Kenapa memangnya?”
Tempatnya jauh sekali, mengapa ia rela pergi jauh hanya untuk minum kopi? Aku bisa merasakan tubuhnya yang hanya terus mengeluh sepanjang jalan dari berangkat sampai pulang nanti. Ditambah lagi jalanannya yang tidak mulus. Ini mirip seperti menyaksikan monyet marah mungkin. Bisa jadi organ-organ tubuh bapak ini pindah kerja ke perusahaan yang lebih baik.
“Mungkin dari raut wajahmu kamu bingung, kenapa saya jauh-jauh datang hanya untuk minum kopi? Jawabannya bapak ingin merasakan jadi anak kota. Jakarta sudah berubah banyak sekali, kamu lihat bukan banyak gedung mulai dibangun? Luar biasa ya kan, Pak Yusuf?”
“Ya, pak. Saya sampe kaget loh Jakarta udah ada hotel toh? Ya, banyak sekali kejutan yang menanti kita. Kita yang tua ini jadi seneng lagi kayak anak muda pak.”
“Benar sekali. Eh, ayo. Katanya mau keliling naik truk, keliling Jakarta aja lihat-lihat pemandangan sambil cerita, bapak juga cerita, biar gak bosen sambil nyalain radio.”
Dari ekspresinya sampai kalimatnya yang terlihat meyakinkan, aku menjadi semangat menjalani sore yang menerpa kita bertiga. Aku merasa perjalanan ini akan menyenangkan karena aku ingin mengetahui apa yang membuat bapak ini bisa berpikir seperti itu.
Menaiki kendaraan besar seperti truk adalah suatu hal yang sama sekali tidak aku bayangkan dalam hidupku. Aku pikir aku tidak akan bisa mencium bau tak sedap dari bawah kursi bekas sisa makanan mereka, menduduki kursi yang sempit, kakiku yang agak panjang sekarang tidak bisa bermain seenaknya, kaca yang dekat seakan mau mengambil wujud wajahku ke dalam mereka. Aku pikir semakin dekat dengan justru semakin bagus, tapi ternyata tidak. Bayangkan saja ada enam orang duduk disini, aku akan merasa tersiksa dan lebih memilih duduk di dalam container. Kami segera berangkat dan meninggalkan perumahanku ketika sore sudah mulai tenggelam.