Hingga aku beranjak dewasa, hubunganku dengan ibu semakin mengalami peretakan. Ibu semakin banyak menyalahkan orang lain padahal orang tersebut tidak berbuat salah apapun. Pandangannya menjadi selalu negatif terhadap keluarga ayah dan nenek. Dia tidak bisa mempercayai siapapun termasuk aku. Aku dianggap membela keluarga ayah dan nenek. Tak pernah kuduga hari itu, di mataku sendiri, ibu meninggal. Ia mengalami sakit kanker payudara dan dokter berkata sudah tidak ada harapan. Sampai ibu meninggal, ia tidak mengucapkan salam perpisahan sedikitpun. Ia hanya diam saja dan kadang menatap atas, ibu hanya mau menatap suster yang merawatnya dan berbicara padanya. Seakan-akan kami semua adalah musuhnya. Seakan-akan ibu berkata, “Walau kalian datang ke pemakamanku, aku tidak akan pernah menerima kalian.”
Ayah tampak sangat sedih dengan ibu. Ia tidak mau makan beberapa hari, ayah mau minum saja. Pada malam hari, ayah kadang menangis sambil memeluk bantal ibu. Ibu, apakah ibu lihat ini? Ayah, merindukanmu. Ayah kadang masih mengingat apa yang ibu ucapkan saat makan malam, ibu suka warna kuning dan idolanya Lilis Suryani, lalu suatu hari ayah memberikan mangkuk dengan tanda tangan Lilis Suryani. Ibu selalu senang menceritakannya di meja makan, berulang kali tak henti ia sangat gembira atas hadiah tersebut. Aku masih ingat ibu memeluk ayah dan mengecup pipinya dengan hangat. Mimpi, ini mimpi! Teriaknya sambil sedikit loncat layaknya anak kecil saja. Mungkin ini kenangan terbahagia ibu sepanjang hidupnya.
Beberapa tahun berlalu, aku sudah mulai memasuki usia dewasa. Ayah dan aku sudah mulai berdamai dengan kepergian ibu, bisa kulihat ayah sudah mulai terbiasa melihat beberap barang milik ibu. Saat kutanya apakah ayah mau sumbangkan barang-barang ibu ke orang yang membutuhkan, ayah menjawab tidak. Biarkan barang-barang yang tidak pernah ibu sentuh saja yang disumbangkan. Ayah ingin barang pribadi milik ibu terus ada karena ayah ingin mengingat kenangan yang ada bersama ibumu dan sebagai pengingat bahwa ayah harus memperbaiki diri setiap hari agar menjadi manusia yang lebih baik. Aku senang ayah sudah berubah dan mau berdamai dengan masa lalu versi dirinya sendiri. Suatu saat mungkin aku akan mengalami kesedihan terberat lagi dalam hidupku, mungkin lebih parah, tapi aku ingin bisa memberikan orang tersebut kenangan indah sebelum ia meninggal.
Aku masih bertemu dengan Dolan yang dimana dia sudah dewasa juga. Ia tampak gagah dengan kemeja putih, dasi, dan jas hitam yang dipakainya. Ia sudah cocok jadi bos di suatu perusahaan. Tampaknya sikap nakal sudah hilang dari dirinya, aku takjub melihat perkembangannya yang pesat. Dia seperti orang dewasa sesungguhnya. Setiap hari ia bekerja di bank, walaupun berat katanya dia nyaman karena lingkungan kerja mendukung sekali agar Dolan betah. Saat ini, aku belum mendapatkan pekerjaan. Aku belum menemukan apa yang cocok untukku. Akhirnya, aku mengajak Dolan untuk berdiskusi mengenai ini. Kita mendatangi taman ragunan untuk berdiskusi sambil ingin melihat macan yang baru saja datang katanya.
Kita janjian pukul empat sore sehabis Dolan selesai bekerja. Dolan katanya ingin mengajak makan setelah diskusi selesai. Sore itu asik karena banyak orang datang mengunjungi hingga sore, anak-anak yang ingin meraih tangan kucing besar itu, namun sayangnya orang tua melarang kesenangannya. Mereka pun menangis, hahaha. Tapi, kadang aku merasa manusia hebat bisa menjalin hubungan dengan binatang. Mereka berbeda dengan manusia, tapi persahabatan itu erat. Mereka mau mengenal kita, asal kita terbuka juga dengan para binatang ini. Sungguh kita semua adalah ciptaan yang mengangumkan. Aku bisa bayangkan seberapa bingung manusia pertama yang melihat wujud binatang. Aneh, bisa bernapas, bergerak, marah, sedih, senang dengan ekor yang melambai. Manusia ingin berkenalan, namun tidak tahu caranya pada mereka. Mungkin suatu hari kita bisa mengerti maksud mereka.
“Hei Dolan! Maaf aku telat! Aku berdiskusi lama sekali dengan temanku mengenai suatu proyek. Kamu tidak bosan kan?”
“Gak, kok. Ini banyak hiburan sekarang. Ayo, langsung saja.”
Kami duduk di area yang jarang dikunjungi banyak orang, yaitu goa kelelawar. Walaupun suara kita bergema, aku pikir tidak apa-apa jika ada orang lewat mendengar.
“Dolan, seperti yang aku katakan sebelumnya. Aku masih bingung mencari pekerjaan. Ayahku sih tidak pernah mendesak agar aku cari pekerjaan, dia bilang, “Ayah yakin kamu pasti keterima di pekerjaan yang kamu inginkan.”
“Memangnya cita-cita kamu mau jadi apa dulu?”
“Cita-citaku dulu aneh. Aku ingin jadi orang asing yang mengetahui banyak cerita dari manusia.”