Setengah Diriku Memeluk

Jessica Laureen.C
Chapter #9

Bab 9

Besok Dirjen Bina Marga, yaitu Pak Ir. Poernomosidi akan menghubungi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, yaitu Ir. Sutami untuk memberitahu pada Presiden Soeharto terkait masalah pembebasan lahan. Hari sudah malam, semua orang balik ke kantor untuk mengurus segala persiapan untuk hari esok, tapi aku izin pada Pak S. Tenkean karena ayah sedang sakit. Tapi, nyatanya aku berbohong. Aku sudah menelepon ayah kalau aku akan menginap di rumah warga dekat jalan tol. Ayah pun mengiyakan, lalu memberitahu segala etika yang biasa dikatakan saat bertamu ke rumah orang. Aku hanya bisa pasrah mendengarkan ocehannya.

Malam itu sekitar pukul sembilan lewat lima, aku mengunjungi rumah warga yang bernama Pak Hasan. Aku sudah mengunjungi rumahnya tadi siang setelah selesai mengecek berbagai lembaran itu. Alasanku melakukan ini karena aku ingin tahu pendapat mereka mengenai jalan tol, walau memang sudah jelas mereka akan menjawab seperti apa, tapi tetap aku ingin berkenalan dan berbagi cerita dengan mereka. Ya, aku tahu. Rasanya seperti aku tidak tahu malu datang dengan wajah polos tanpa dosa.

“Malam Pak Hasan, maaf sudah membuat bapak menunggu.” Sapaku sambil melepas sepatu di depan pintu kayu tersebut. Rumah Pak Hasan cukup kecil sehingga banyak perabotan membuat luas rumah menjadi kecil sekali. Tempat untuk duduk jadinya hanya lesehan saja. Sekeliling rumah Pak Hasan tidak persis menghadap jalan raya, jadi memang tidak berisik dari tadi.

“Ohh santai saja, Nak. Saya belum tidur kok jam segini. Jadi, bagaimana? Katanya ada yang mau diceritakan.”  kata Pak Hasan sambil menyiapkan kopi. Istri dan anaknya sedang berkunjung ke rumah mertua katanya, jadi Pak Hasan kebetulan sendiri saja di rumah.

“Menurut bapak, jalan tol itu seperti apa?” aku agak ragu menanyakan seperti ini karena takut membuatnya sedih kembali.

“Oh jalan panjang itu? Ya, saya pikir tidak apa-apa, toh pemerintah sudah ganti rugi bukan? Nanti mereka akan kasih kompensasinya ke kita. Kalau tidak dikasih ya, kita semua akan protes.”

“Bapak tidak marah sama sekali?”

“Tidak. Mengapa harus marah? Mungkin maksud kamu mengambil lahan sawah saja begitu? Ya, awalnya saya marah, saya tidak terima karena tanah ini sudah milik kakek saya sejak dulu. Tapi, pihak dari kalian sudah berusaha menjelaskan dengan baik-baik kalau ini untuk kepentingan umum. Saya akhirnya mengubah keputusan saya dan mau melihat perkembangan jalan tol ini seperti apa nantinya.”

“Pak Hasan pernah kepikiran mau pindah rumah?”

Pak Hasan tertawa kecil. “Saya yakin semua orang ingin pergi ke tempat yang indah. Mungkin bisa lihat pantai setiap hari, main pasir sambil mandi air asin. Ya, tapi itu bukan realitanya. Manusia harus kerja habis itu dapat uang. Harus makan sama minum, kalau gak y akita mati. Bapak gak mau lihat orang tersayang sedih cuman gara-gara gak mau makan/minum. Ya sudah lakukan yang terbaik untuk hidup saja. Jadi manusia yang baik pada sesama.” 

Belum pernah aku lihat dalam seumur hidup ada orang yang tersenyum setulus itu. Pak Hasan sungguh tidak mengharapkan apa-apa, aku merasa cara Pak Hasan menerima kehidupan sangat aneh. Ia tidak mau mengejar ataupun mencari makna kehidupan. Dia terima semuanya mau itu baik dan buruk. Walaupun seperti itu, aku merasa ada kemiripan di antara kita berdua. Bahwa kita sama-sama manusia biasa, Pak Hasan hanya bisa menuruti perintah dari orang-orang yang bekerja atas proyek ini, aku pun begitu hanya bisa menuruti perintah atasan. Aku adalah manusia yang tidak bebas. Layaknya ibu. Tidak, aku tidak sama sepertinya. Ini berbeda. Aku bisa memahami situasi, sementara ibu tidak. Aku tahu situasi yang dialaminya bukan salah siapa-siapa. Bukan ayah, bukan keluarga besar ayah, bukan nenek, bukan tante kerupuk. Ibu gagal memahami manusia, sementara aku bisa. Aku mau belajar dari dasar kembali, mau memahami Pak Hasan, dan rekan lain. Itu adalah langkah kecil yang disebut ayah untuk bisa menaiki tangga yang besar. Aku akan mengambil risiko apapun itu demi mendapat kebenaran dalam hidup. Kebenaran akan datang dengan sendirinya, jika aku telah berhasil mencapai apa yang kuinginkan.

Keesokan paginya, seperti biasa aku hadir dalam keadaan masih mengantuk. Aku melihat keadaan sekitar seperti dalam lukisan yang bergerak dan rekan-rekan semuanya seperti manusia figuran yang dikendalikan oleh seseorang. Tapi, untungnya kesadaranku tetap ada saat mengikuti instruksi dan membantu rekan lainnya. Siang hari sudah mencapai puncak, semua pekerja sangat lelah terlihat di wajah mereka yang penuh keringat dan bau badan yang menyengat. Aku sendiri ingin menjauhi kerumunan, tapi saat ini aku harus bekerja sama mau tidak mau. Tiba-tiba aku terdengar suatu teriakan.

“PAK MATIUS!”

“SEMUANYA CEPAT CEK KEADAAN PAK MATIUS!” Suara teriakan mereka terdengar sampai jauh, aku segera berlari kecil ke kerumunan untuk mengecek apa yang terjadi. Setelah semua orang menghampiri titik kerumunan, aku kaget karena Pak Matius dalam kondisi yang mengenaskan, darah keluar banyak di belakang kepalanya, ia rupanya jatuh saat membetulkan scaffolding. Itu semacam penyangga beton agar tetap berdiri tegak.

“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Pak Ir. Hendra Mulyono beserta Pak S. Tenkean di sampingnya. Mereka berdua kaget melihat Pak Matius dan langkah mereka mundur sedikit.

Pak S. Tenkean langsung mengecek denyut nadi Pak Matius.

“Sayang sekali dia sudah meninggal.” bisa kulihat

Lihat selengkapnya