Mei 1998
Berita bahwa ada kerusuhan di Jakarta membuatku lesu, aku sudah menelepon ayah berkali-kali, tapi ia tidak menjawab sama sekali. Sekarang, aku berada di Semarang (proyek jalan tol terakhirku) dan tinggal di wilayah pemukiman liar. Mereka sangat baik sudah memberi izin tinggal, mungkin aku tidak akan pernah bisa membalas budinya. Akhirnya, aku pun menelepon keadaan Pak Yusuf dan Simon. Kabar Pak Yusuf dan keluarga sedang tidak baik-baik saja, akibat kerusuhan tersebut, rumah mereka kebakaran dan sekarang harus mengungsi ke rumah mertua di Bogor mengendarai mobil. Untungnya mobil Pak Yusuf tidak dicuri sama sekali dan ia bersama keluarga bisa melewati Jakarta dengan selamat sampai di Bogor.
“Terima kasih Rajacenna sudah menanyakan kabar saya.” Pak Yusuf diam cukup lama sampai aku kira dia tertidur, namun ia menjawab lagi. “Saya tidak akan lupa kamu saat pertama kali bertemu. Sungguh nostalgia sekali, tapi keadaannya berubah sekarang. Semoga kita bisa bertemu Rajacenna, saya ingin mengetahui dirimu lebih lanjut. Saya tidak percaya apa kata orang-orang mengenai dirimu, yang saya tahu kamu anak yang bisa membuat saya terpesona. HAHAHA” astaga Pak Yusuf, dia masih saja bercanda di tengah situasi begini. Mana mungkin aku bisa melupakan Pak Yusuf, dia tetap bekerja di bawahku saat menjadi pemimpin dan ia kadang suka mengkritik diriku yang kurang bisa memahami tugas. Aku pun menerimanya dan tidak seperti mereka yang berbicara di belakangku. Sayangnya, Pak Yusuf berhenti bekerja lebih dulu karena sudah mau memasuki pensiun.
Selanjutnya, aku menelepon Simon menanyakan keberadaannya apakah ia menuju bandara Soekarno-Hatta. Simon ternyata juga tidak bisa berlama-lama di Jakarta, situasinya tidak kondusif dan ia harus segera pulang ke Amerika. Namun, masalahnya sekarang bandara sedang ramai sekali dipenuhi banyak orang yang panik. Mereka ingin segera pergi dari Jakarta dan kebanyakan destinasinya adalah Singapura karena dekat dengan Indonesia. Banyak dari mereka memaksa petugas untuk menambahkan jadwal penerbangan ke Singapura. Simon juga tidak tahu kapan ia bisa berangkat, katanya malam ini. Untungnya dia sudah memesan tiket penerbangan ke Amerika jauh-jauh hari. Dia tidak menduga akan seperti ini.
“Rajacenna, kalau boleh jujur saya memang tidak mengikuti situasi politik di negara Indonesia, jadi wajar tidak tahu dan mungkin polos juga. Saya pikir mengapa banyak orang berlari menuju bandara karena mereka takut ketinggalan pesawat mungkin, namun ternyata saya salah. HAHAHA.” Simon menertawakan dirinya sendiri yang bodoh karena telat mengetahui informasi. Aku pun juga ikut tertawa karena aku pikir dia sudah tahu beritanya seperti apa.
Tapi memang keberuntungan sangat diandalkan dalam situasi seperti ini. Aku sangat bersyukur Simon dan Pak Yusuf bisa selamat dari kerusuhan Mei 1998. Aku tidak menelepon Pak S. Tenkean karena aku tahu dia tidak ingin diganggu semenjak hari itu. Ini hanya asumsiku berdasarkan perilakunya padaku. Jadi, aku menerima fakta itu saja.
Semarang bisa dibilang cukup aman, walau memang terjadi kerusuhan juga disini akibat dari kerusuhan di Jakarta. Tapi, setelah itu situasinya menjadi aman kembali. Setidaknya itu yang kurasakan sekarang. Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari dalam rumah sebelah.
“Ratna, Ratna tidak kunjung pulang! Bagaimana ini? Ini sudah mau maghrib, ia dimana sebenarnya?” ucap sang ibu sambil menangis yang berusaha menahannya agar tidak terdengar tetangga.