Budi memang berbeda dengan teman sebayanya. Keadaan ekonomi keluarganya yang tergolong menengah kebawah membuat dia harus berusaha keras meniti kehidupannya. Apalagi Budi merupakan anak pertama sekaligus anak laki-laki. Selain harus menjadi kebanggan bagi keluarganya, dia juga mau tidak mau harus berjuang bagi keluarganya.
Budi memiliki mimpi yang tinggi yakni menjadi seorang Polisi Republik Indonesia (POLRI). Namun dia harus menerima kenyataan pahit, keadaan ekonomi keluarganya yang tergolong menengah kebawah lagi lagi berpengaruh bagi mimpinya, dan dia pun harus mengubur dalam-dalam mimpi yang dimilikinya. Kendati demikian kekecewaan yang dirasakan tak dibiarkannya bertahan lama menguasai relung hatinya. Dia berupaya terus bangkit dan “nrimo ing pandum lan legowo” [1], pribahasa yang juga cukup sering didengarnya baik di keluarga besarnya maupun di lingkungan masyarakatnya yang mayoritas merupakan suku jawa sama seperti Budi.
Setelah pengumuman kelulusan SMK, Budi selalu memikirkan apa yang selanjutnya akan dilakukan, mengingat mimpinya yang tak mungkin dapat terwujud. Usaha Budi untuk merubah kehidupan keluarganya, membawa dia berkeinginan untuk memberanikan diri pergi merantau jauh dari desanya. Akhirnya beberapa bulan kemudian dia memutuskan untuk mengikuti jejak beberapa teman sekolahnya saat berada di SMK dulu yakni untuk merantau dan mencari pekerjaan.
Satu minggu sebelum kepergiannya untuk merantau guna mencari pekerjaan, ia mencoba memberanikan diri mengatakannya dengan kedua orangtuanya.
“Mae, Pae, purun mbonten Budi melu rencang-rencang badhe kerjo neng luar kota?”tanya Budi dengan bahasanya yang khas digunakan sehari-hari.
“ meh kerjo neng endi toh le??” tanya ibu Budi dengan lembut
“neng Tangerang kale rencang-rencang kulo SMK mae pae.” Jawab Budi mencoba menenangkan kedua orangtuanya
“wes dipikir mateng-mateng po le?” tanya ayah Budi dengan sedikit khawatir
“sampun mae, pae. Kulo badhe kerjo supadhos keluarga kito niki mbonten susah terus.” Jawab Budi, lagi-lagi mencoba meyakinkan kedua orangtuanya.
“nggeh sampun le, nek uwes mantep ati lan awakmu, pae lan mae mung iso dukung lan dongo muga awakmu sukses lan sehat.” Jawab kedua orangtua Budi dengan sedikit rasa khawatir
Keinginan baik Budi untuk pergi merantau guna mencari pekerjaan akhirnya disetujui kedua orangtua Budi. Meski merasa khawatir, namun Pak Slamet dan Bu Wiwik tahu betul bahwa sebagai anak laki-laki, Budi harus belajar mandiri dan bertanggung jawab akan dirinya sendiri. Selain itu keadaan ekonomi yang dialami juga menjadi alasan pendukung lainnya bagi Bu Wiwik dan Pak Slamet untuk membiarkan Budi, anak laki-lakinya yang sering disapa le[2] tersebut pergi merantau guna mencari pekerjaan. Memang sedari Budi kecil dan sebagai anak laki-laki, ia sudah terlatih untuk mandiri dan tidak pernah dimanja oleh kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya selalu yakin dan percaya akan apa yang akan dilakukan. Namun ternyata tujuan baik kedua orangtuanya seringkali disalah artikan oleh Budi. Tidak jarang keadaan ini membuat Budi seringkali merasa iri dengan adik perempuannya. Pasalnya sebagai anak perempuan, adiknya kerapkali lebih diperhatikan dan dikhawatirkan oleh kedua orangtuanya.
Namun lagi-lagi dia tak membiarkan rasa iri bernaung lama dalam hati dan pikirannya. Dia selalu bangkit dengan penuh semangat berusaha dan berharap kelak suatu saat kehidupan keluarganya akan menjadi lebih baik. Selain mendiskusikan niatnya dengan kedua orangtuanya, Budi juga tidak lupa menyampaikan kabar dengan Nafisa seorang janda yang merupakan kekasihnya sejak kelas tiga SMK. Dengan panggilan yang khas yang telah disepakati berdua yakni “Ayah dan Bunda,” Budi memulai percakapan elektronik melalui HP jadulnya
“Bunda, satu minggu lagi ayah akan merantau untuk mencari pekerjaan ke Tangerang bersama teman-teman.” Tulis Budi dengan panggilan manja yang telah mereka sepakati melalui pesan singkat elektronik kala itu.
“ Ayah, kenapa mendadak dan jauh sekali?” balas Nafisa kekasihnya lengkap dengan emoticon sedih sebagai gambaran perasaannya saat itu
“ iya Bunda, ayah mau mengadu nasib, demi keluarga ayah juga demi Bunda dan dua anak kita.” Balas Budi dengan lembut mencoba menenangkan.
“Ya sudah ayah, Bunda mengizinkan. Ayah hati-hati disana, jaga diri dan jaga hati ya.” Balas Nafisa mencoba memberi dukungan
Meskipun, Nafisa kekasihnya berstatus seorang Janda dengan dua anak dan sejak memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Nafisa, keduanya sama sekali belum pernah bertemu langsung melainkan hanya berkomunikasi melalui media sosial Facebook dan berlanjut ke saling bertukar nomer handphone , namun keadaan tersebut tidak menyurutkan kasih sayang Budi padanya. Dia menyayangi Nafisa bahkan menganggap anak kekasih nya tersebut sebagai anaknya sendiri. Tibalah hari yang telah disepakati Budi dan teman-temannya untuk pergi merantau. Pagi –pagi benar dirumahnya, Budi telah siap dengan menggendong ransel berisi barang-barang perlengkapannya yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari.
Budi berjalan dari kamarnya menuju ruang tamu dimana kedua orangtuanya bersama teman-temannya yang berjumlah tiga orang, telah berkumpul untuk menunggunya.
Pae, Mae kulo pamit nggeh?” kata Budi dengan penuh semangat dan keyakinan
Nggeh leh, ngatos-atos nggeh.” Jawab ibu dengan lembut sembari memeluk Budi