Hati wanita mana yang tak hancur. Pikiran wanita mana yang tak kacau. Merry kecewa sungguh sangat merasa kecewa. Kekasih, pujaan hatinya yang selama ini dikira mencintainya dengan tulus dan sepenuh hati. Ternyata milik orang lain, bahkan lebih dari itu kekasihnya “bekas” oranglain. Seandainya wanita itu oranglain dan bukan Merry, mungkin saja nama Budi tidak akan ada lagi dihati.
Jangankan untuk mencintai, mengingatnya saja sungguh tak pantas. Budi memang hanya manusia biasa, seperti laki-laki pada umumnya. Laki-laki normal dengan hasrat dan gairah yang membara. Laki-laki yang baru saja mulai beranjak dewasa, namun sudah dihadapkan dengan cobaan hidup yang luar biasa hebatnya. Hari itu setelah Budi memutuskan untuk memilih Merry dan meninggalkan Nafisa, Merry merasa sangat bahagia.
Rasa bahagia yang dirasakan Merry, bukan semata-mata karena dia telah menjadi juara atas hati Budi kekasihnya. Namun lebih dari itu, Merry bahagia karena dirinya telah berhasil menyelamatkan Budi, laki-laki yang sangat di cintainya saat ini setelah ayahnya. Merry sangat tahu persis, hubungan Budi dan Nafisa selain tak sehat juga sulit untuk dipersatukan karena perbedaan yang sangat mencolok diantara mereka, yakni keyakinan dan statusnya. Merry tak ingin laki-laki seperti Budi lebih jauh jatuh ke dalam ketidakpastian hubungan cintanya.
Merry mengesampingkan perasaannya yang saat ini teramat kacau. Hatinya yang kini hancur berkeping-keping akan tingkah laku Budi kekasihnya, seolah tidaklah penting. Meski selalu terbayang akan kesalahan kekasihnya dan mantannya Nafisa, namun Merry dengan besar hati memilih untuk memaafkan dan menerima Budi sepenuh hati. Memang benar hari itu setelah resmi perpisahannya dengan Nafisa, Budi berulangkali secara langsung meminta maaf kepada Merry pujaan hatinya atas semua kesalahan yang telah diperbuatnya.