Satu Bulan Kemudian.....
29 Juni 2016. Hari yang buruk bagi Merry. Semua tampak gelap gulita. Hari ini Merry merasa seolah-olah Tuhan tak adil padanya. Merry tampak putus asa. Air matanya tak berhenti mengalir. Matanya sembab, tubuhnya lemas tak berdaya.
Sejak kemarin setelah mendengar kabar dari ibunya Merry memang tidak bernafsu untuk makan. Jangankan untuk melahap makanan, untuk hidup saja Merry hampir saja ingin menyerah. Hari itu teramat berat bagi Merry. Hingga bibirnya tak dapat berkata-kata, tubuhnya kaku dan lemas seketika.
“Betapa sulit menghadapi ini semua.” Gumam Merry dalam hati.” Aku pasti tak akan mampu. Kenapa Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku dan pada keluargaku?”
Tak henti-hentinya Merry mengeluh. Mencari jawaban atas segala yang terjadi di dalam otak kecilnya.
Begitu banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Namun, semakin dia bertanya dan merasa bingung, bukannya jawaban yang ditemukan. Ia justru merasakan sakit kepala yang bukan main tak tertahankan.
Kepergian pahlawan dari hidupnya, memang pengalaman hidup yang terasa amat berat bagi Merry. Ayahnya tercinta. Bukan hanya seorang laki-laki yang memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya. Sosok ayah bagi Merry lebih dari itu.
“Ayahnya sebagai teman curhat, ayahnya juga selalu ada untuk Merry”. Itulah makna ayah bagi Merry. Sebagai anak perempuan pada umumnya, Merry memang lebih dekat dengan ayahnya. Banyak sekali kenangan Merry bersama ayahnya tercinta.
Hampir semua perjalanan di dalam hidup Merry, ayahnya berperan serta. Apapun yang dirasakan Merry. Kebahagian, kesedihan, kegagalan bahkan kegalauan selalu dicurahkan Merry pada ayahnya. Mulai dari kisah pendidikan, persahabatan bahkan percintaan. Merry terdiam sejenak, dia mencoba mengingat potongan-potongan kenangan yang telah ia lalui bersama ayah tercintanya.
Dia mengingat satu kisah yang amat membekas di dalam hati dan pikirannya. Kisah itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Tepatnya beberapa bulan setelah Merry lulus dari bangku salah satu SMA swasta di kota Muntilan. Saatnya Merry melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Keluarganya memutuskan Merry untuk melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Swasta yang cukup ternama di kota Semarang.
Malam hari sebelum Merry hendak mengikuti test, ayahnya selalu mengingatkan Merry akan segala hal. Mulai dari pakaian, buku-buku hingga barang-barang keperluan lainnya. Keesokan harinya pagi-pagi benar, ayah Merry sudah menyiapkan air hangat agar Merry tak merasa kedinginan ketika mandi. Merry merasa malu sekali.
Bukannya ia yang menyiapkan kebutuhan ayahnya. Ini justru kebalikannya. Setelah selesai berkemas-kemas, Merry juga kembali dikagetkan dengan sikap ayahnya. Tiba-tiba di depan rumahnya telah tersedia sebuah mobil.