Satu Minggu setelah kepergian ayahnya. Merry berusaha menyudahi kesedihannya. Mengumpulkan semua tenaga yang dimiliki. Ia mulai bangkit menyongsong hari baru.
Merry tak ingin semakin lama menjadi beban orangtuanya. Khususnya bagi ibunya, yang saat ini hanya tinggal seorang diri mengurus Merry dan keempat adiknya. Meski tubuhnya tampak lemah, pandangannya kosong, pikirannya kacau. Namun Merry berusaha mempersiapkan perlengkapannya ke dalam tas ranselnya yang berwarna pink.
Tas ransel yang beberapa bulan yang lalu dibelikan ayahnya di pasar malam. Meski warnanya sudah tampak pundar, namun tas tersebut masih jadi kesayangan Merry. Apalagi kini, tas tersebut menjadi potongan kenangannya bersama ayahnya tercinta. Dalam hati Merry berjanji, untuk selalu menggunakan tas pink itu.
Seolah ingin menghadirkan sosok ayahnya agar selalu menemaninya. Setelah selesai berkemas, Merry beranjak dari ruang kamarnya untuk menemui ibunya. Seperti hari dimana ayahnya pergi untuk selama-lamanya. Merry masih mendapati ibunya di ruang tamu, dengan tubuh yang tampak lebih lemah darinya.
Dengan air mata yang bercucuran deras. Sedari kepergian ayahnya, ibu Merry memang sulit makan. Hanya kalau dipaksa saudara dari ibu atau ayah saja atau yang sering disapa Merry “tulang dan nantulang”[1] serta “namboru dan amangboru”[2].
Itu saja tidak lebih dari sesedok makan nasi yang mampu dimakan ibu. Hari itu, Merry tahu dirinya tidak mampu berangkat seorang diri ke kampusnya. Lagi lagi Merry menghubungi Budi, kekasihnya untuk mengantarkannya :
“sayang, hari ini anterin aku ke kampus ya?” pesan singkat Merry
“oke sayang, jam berapa?”
“jam delapan ya.”
“oke, siap!”
Meskipun awalnya Merry hanya meminta Budi untuk mengantarkannya. Namun ternyata Budi tak sampai hati, meninggalkan Merry hari itu. Ia menemani Merry sampai Merry menyelesaikan urusannya yang berkaitan dengan tugas akhirnya. Begitu selanjutnya, hari-hari dilalui Merry.
Budi selalu ada menemaninya hampir setiap hari. Meskipun sebenarnya, Budi memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi ia rela meninggalkannya untuk sekedar memberi dukungan dan semangat pada Merry pujaan hatinya. Tiga bulan lamanya.
Setelah kepergian ayahnya, Merry bergulat dengan tugas akhirnya. Hingga kini, dosen pembimbingnya memberikan kabar gembira padanya. Merry diminta mengurus bagian kelengkapan data guna mempersiapkan diri menghadapi ujian skripsi yang akan berlangsung tiga minggu lagi. Merry merasa begitu senang.
Bagaikan pelangi sehabis hujan. Dia segera memberikan kabar baik ini melalui satelit telopon pribadinya, secara berurutan kepada keluarganya lalu kemudian Budi kekasihnya.
“Hallo mam, kata dosen pembimbing aku, tiga minggu lagi aku ujian skripsi.” Kata Merry dengan gembira
“Puji Tuhan nak, kamu belajar yang benar ya.”
“iya mam.” Jawab Merry berusaha menenangkan ibunya
Berbeda dengan tanggapan ibu Merry. Budi lebih merasa bahagia mendengar kabar tersebut. Pasalnya usahanya selama ini membangkitkan semangat Merry ternyata tidak sia-sia.
“Hallo sayang, tiga minggu lagi aku ujian skripsi.”ujar Merry kepada Budi kekasihnya melalui telepon pribadinya
“beneran sayang?”
“iya sayang, ini sekarang aku lagi sibuk ngurus kelengkapan data buat ujian.”
“mau dibantuin apa gimana?”
“hah!seriusan kamu mau bantuin aku?
“ya udah, ntar malam aku ke kost ya bantuin kamu?”
“oke sayang, terimakasih.”ujar Merry mengakhiri percakapan hari itu
Benar saja. Sore hari sepulang kerja, Budi lantas berkemas untuk menemui Merry. Perjanjian “Ngapel pacar” yang telah disepakati di hari weekend saja seolah dilupakan. Budi menemui Merry di hari biasa.
Seperti mendapatkan bonus. Budi merasa sangat senang. Sedangkan Merry yang kala itu terlalu bahagia dengan kabar ujian skripsi. Sehingga membuatnya tak mampu merasakan kebahagian kala mengetahui kedatangan kekasihnya.
Hari itu. Sedari sore Merry sudah tampak sibuk. Kali ini bukan karena urusan pribadinya. Namun pasalnya, salah satu adik kandungnya juga akan mengadakan ujian skripsi lebih cepat dari Merry.