Hari-hari dilalui Merry di tempat kerjanya yang baru dengan diliputi rasa kesendirian dan kesepian. Merry seolah mengulang masa-masa dimana dirinya masih duduk dibangku kuliah dulu. Hanya saja kali ini Merry tinggal dengan keadaan kost sedikit berbeda dari yang dulu. Merry tinggal di sebuah kamar kost yang cukup luas serta perlengkapan yang serba ada. Meski kostnya yang sekarang tampak lebih mewah, luas dan nyaman.
Namun Merry tak merasakan kebahagian yang sama seperti tempo dulu. Ketika dirinya masih berada di kost untuk menjalani masa-masa kuliah. Seperti hari-hari sebelumnya. Setibanya di kost, Merry tampak santai, menikmati beberapa jam yang tersisa untuknya.
Sebelum hari esok tiba. Merry harus kembali berjuang mencerdaskan anak-anak bangsa. Sebagai guru memang itulah tugas utama Merry. Di usianya yang masih belia, bekerja memang terasa seperti beban yang teramat berat bagi Merry.
Rutinitas yang selalu sama dari hari ke hari, dan yang paling terasa amat sulit adalah ketika Merry harus bangun pagi-pagi sekali. Dulu semasa kuliah, Merry selalu bangun siang. Pola tidurnya pun tak beraturan. Sekarang Merry benar-benar dituntut untuk berubah.
Bahkan perubahan yang cukup signifikan. Berbanding terbalik sebesar tiga ratus enam puluh derajat. Tidak heran, jikalau Merry masih butuh penyesuaian dan pelatihan untuk bersikap disiplin sebagai guru. Sore itu, sepulang kerja.
Merry menghabiskan sisa-sisa harinya ditemani dengan segelas teh hangat dan beberapa potong kue rasa susu kesukaannya. Merry memang memiliki banyak stok makanan berbagai jenis di kulkas kecilnya. Mulai dari makanan berat hingga makanan ringan. Keadaannya yang kini sendiri mengharuskan Merry harus selalu menyediakan stok makanan di kulkasnya.
Berjaga-jaga jika tengah malam rasa lapar mengusik tidurnya.Meski kesepian, ia tak boleh kelaparan. Itulah prinsip yang sejak awal disepakati Merry dengan dirinya sendiri. Apalagi sebelum keberangkatan Merry ke Kota Solo, ibundanya selalu berpesan agar Merry selalu menjaga kesehatan.
Banyak kabar yang telah beredar dan sampai ke telinga ibu Merry bahwa anak kost kerapkali dilanda penyakit maag. Tidak heran jikalau ibu Merry terlalu posesif akan kesehatan Merry. Semata-mata agar Merry tak bernasib sama seperti anak-anak kost lainnya. Ibu Merry memang selalu memperlakukan semua anak-anaknya seperti seorang anak kecil. Penuh kasih sayang. Namun tetap disiplin dan bertanggung jawab.
Merry tampak kesulitan ketika kedua tangannya membawa kue dan segelas teh dari meja secara bersaamaan. Meskipun dari meja makan menuju teras hanya berjarak beberapa langkah saja.
Saat-saat yang selalu dinantikannya setiap hari.
“Huh akhirnya santai juga, semoga waktu ini tidak cepat berlalu.” Gumamnya dalam hati
Merry duduk diatas sofanya yang empuk. Merry kemudian berpikir sejenak, kegiatan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Pikirannya melayang memikirkan banyak kegiatan. Merry terdiam sejenak. Beberapa menit kemudian Merry melonjak kegirangan karena mengingat sesuatu.
“Aha, aku ingat tadi waktu perjalanan pulang ke kost aku kan mampir ke toko buku dan membeli sebuah novel yang tampak sangat bagus.” Gumamnya sekali lagi dalam hati
Segera Merry beranjak dari sofanya yang lembut. Menuju meja belajarnya yang terletak di sebelah tempat tidurnya. Kamar Merry memang sangat luas serta berisikan banyak sekali perabotan. Mulai dari tempat tidur lengkap dengan kasurnya, sepaket meja dan kursi belajar, lemari pakaian, rak buku, kulkas, meja dan kursi makan dan satu sofa berukuran sedang yang cukup nyaman tepat di sebelah kanan tempat tidurnya yang bersebelahan dengan meja belajarnya.
Merry mengambil tasnya dan berusaha merogoh isi tasnya. Ternyata Merry sama sekali tak berhasil meraba-raba isi tasnya untuk mengambil novel itu. Kebetulan isi tas kerja Merry saat itu memang banyak sekali novel-novel terdahulu yang berniat hendak dikembalikan. Namun karena perpustakaan pada hari itu tutup, akhirnya Merry terpaksa membawa dan menggendong kembali tasnya.
Akhirnya Merry tak sabar lagi. Dia menuangkan semua isi tasnya di kasur tempat tidurnya.
“Aha.... akhirnya kutemukan kamu.”ucap Merry sedikit kesal
Merry kembali menuju sofa lembutnya. Sembari menikmati beberapa potong kue susu yang masih tersisa kala itu. Merry mulai mencoba membaca novel itu. Mulai dari cover, prolog hingga masuk ke dalam bagian per bagian.
Merry tampak asyik membaca novel barunya. Dibacanya kalimat per kalimat, halaman per halaman. Ia semakin berambisi untuk membaca novel tersebut. Dia tenggelam akan nuansa nostalgia dalam novel tersebut. Apalagi setelah dia membaca sebuah kalimat yang cukup menyentuh hatinya. Sekali lagi. Merry termenung dan pikirannya melayang kemana-mana. Dia teringat akan kisah cintanya pada Budi.....
“Jika kamu benar-benar jatuh cinta, apa yang nampak diluar tidak akan penting. Karena rumah terbaik adalah tempat yang kamu bangun di hati masing-masing.”Winter Sonata
Sebuah kalimat yang memiliki makna mendalam baginya dan hubungannya dengan Budi. Restu dari orangtua yang belum dimiliki terkadang membuat Merry kebingungan akan perasaannya. Meski sebenarnya dia tahu dirinya telah jatuh cinta pada Budi bahkan hingga takut kehilangan sebelum memiliki. Merry masih menjadi pacar Budi.
Hingga saat ini, status itu memang belum juga mengalami peningkatan ke jenjang yang lebih serius yakni pernikahan. Sebenarnya sudah berkali-kali Budi mengajak Merry untuk menikah. Namun Merry berpikir dirinya masih terlalu muda. Selain itu dirinya masih memikirkan Restu dari keluarganya terutama ibunya.
Berulang kali Merry mencoba untuk menyangkal perasaannya terhadap kekasihnya Budi. Sebab tak ada satupun keadaan Budi yang dapat dijadikan alasan bagi Merry untuk tetap bertahan sebagaimana wanita pada umumnya. Jangankan penghasilan, Budi bahkan tak memiliki pekerjaan yang tetap. Keluarganya juga bukan merupakan keluarga yang "berada" setidaknya sepadan dengan keluarga Merry.
Dari latar pendidikan pun, Budi hanya tamatan SMK berbeda jauh dengan Merry seorang sarjana. Belum lagi perbedaan suku diantara kedua. Budi dan Merry bagaikan langit dan bumi. Namun Merry tak pernah peduli akan hal itu.