Mata Ibu Samsiar (Nama samaran) berkaca-kaca saat melihat anak laki-lakinya, Arman (Nama samaran 23 tahun), yang terus tergolek di pembaringan. Sudah beberapa hari, suhu badan Arman sangat tinggi. Agar demamnya reda, obat penurun panas pun sudah diberikan. Namun sayang, kondisinya belum juga membaik, tubuhnya terus melemah.
Betapa pun anaknya sangat nakal, perempuan itu tak kuasa melihat penderitaan anaknya. Dielus-elusnya muka sang anak, ditatapnya dalam-dalam, seolah tidak mau berpisah dengannya. Seraya menangis tersedu-sedu, sang ibu mencelupkan kain handuk kecil ke dalam air dingin.
Ia kompres sang anak, dan berharap panas tubuh anaknya itu berangsur turun. Di dalam kamar berukuran 4 x 3 m, dengan muka sembab, perempuan itu menengadahkan kedua tangannya. Ia berdoa kepada Sang Khalik agar demam yang diderita anaknya berangsur normal.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi Arman bertambah parah. Jangankan turun pasannya, malahan di sela-sela kedua matanya menitikan darah. Begitu pun dari lubang hidungnya.
Sang ibu tercengang bukan kepalang saat melihat pemandangan ini. Ia bingung, tak tahu harus berbuat apa ketika melihat aliran darah memenuhi wajah anak tercintanya.
“Pak! Pak!” Teriaknya, memanggil suaminya.” Pak! Pak!” sekali lagi ia memanggil sang suami dengan suara lebih keras.
Sejurus kemudian, lelaki yang dipanggilnya sudah berada di tempat itu.
“Ada apa, Bu?” tanya sang suami.
“Anak kita Pak!” Jawab sang istri.
“Ha ... ayo, kita bawa ke rumah sakit.”
Begitu paniknya mereka saat melihat dara keluar dari lubang hidung dan kedua mata anaknya tak juga kunjung berhenti. Sambil menunggu datangnya ambulan, Ibu Samsiar terus mengompres anaknya dan membersihkan darah yang terus mengalir dengan kapas dan kain bersih.
Ambulan datang dengan sirene yang meraung-raung. Tubuh Arman yang panas dan menggigil digotong ke dalam ambulan. Sementara orang-orang kampung mulai berkumpul di tempat itu dan menyaksikan pula pemandangan yang sungguh menyedihkan.
Ambulan segera menyibak jalanan. Selarik kecemasan terlihat di muka kedua orang tua. Sang ibu tak henti-henti mengusap air matanya.
“Lebih baik, kita berdoa. Kita pasrahkan semuanya pada Allah Swt. Mudah-mudahan Allah memberikan pertolongan untuk anak kita” hibur sang suami.
“Anak kita. Pak! Anak kita,” rengek sang istri sambil menangis.
“Sabar, Bu! Kita berdoa saja.” Bujuk suaminya. Tangis perempuan itu mulai mereda. Namun, sedu-sedannya masih terdengar.