Kisah ini barangkali pernah di alami orang lain. Banyak sudah penjahat seperti Dirga (Nama samaran) yang bertaubat, penjahat yang bisa jadi lebih seram, lebih sadis, dan lebih kejam darinya.
Ya, Dirga hanya seorang penjahat kampung biasa yang tinggal di kampung. Tetapi kisah sederhana ini ia ceritakan. Bukan untuk membanggakan diri, tentu saja karena apalah yang bisa dibanggakan dari seorang mantan sampah masyarakat seperti dirinya ini.
Kisah ini Dirga tuturkan sebagai rasa syukurnya. Dirga memang menjalani kehidupan yang bisa dikatakan muram, keras dan berantakan. Sedari muda ia sudah terbiasa mabuk-mabukan, mencuri, berkelahi, dan sebagainya. Hingga akhirnya setelah dewasa orang mengenalnya sebagai preman.
Lingkungan yang ditinggali oleh Dirga memang cukup rawan tindakan kejahatan. Maklumlah, daerahnya adalah pelabuhan. Dirga memang tak bisa memungkiri itu. Karena ia memang menjadi bagian dari stigma masyarakat itu.
Dirga menjalani kehidupan yang memang dekat dengan tindakan kejahatan. Sebagai seorang preman. Sebenarnya tak ada enaknya menjalani kehidupan seperti itu. Tidur tak teratur, makan tak teratur, dan penampilan pun selalu berantakan.
Kadang ia tidak tidur di rumah karena ia selalu keluar malam dan tidur di sembarang tempat. Tetapi sikapnya memang keras. Darahnya adalah darah panas yang kalau marah bisa melakukan apa pun.
Termasuk membunuh orang. Nyalinya besar kata teman-temannya Dirga. Itulah yang membuat ia cukup disegani dan dihormati. Ia memiliki anak dan istri, tetapi tak terurus. Dirga terkadang mendapat uang dari memalak, berjudi, dan sebagainya.
Selalu habis dengan cepat. Hingga kadang tak ada yang tersisa buat mereka. Orang menyebut uang yang ia dapat adalah uang panas. Didapat dengan cara yang tak baik dan dengan mudah menguap dan raib.
Anak dan istrinya hidup kekurangan dan miskin. Kondisi ini sebenarnya, makin membuat dirinya terjerumus dalam jurang kejahatan. Dan seperti tak akan bisa memiliki jalan pulang untuk bertaubat.
Suatu hari, seperti biasa Dirga nongkrong di daerah dekat POM bensin di tempatnya. Di sanalah terkadang ia menghabiskan waktu. Orang biasanya tak ada yang berani bermacam-macam kalau lewat tempat itu.
Mereka takut kepada Dirga. Penampilannya juga akan membuat orang dengan sendirinya merasa tak nyaman. Matanya senantiasa merah karena kurang tidur dan mabuk. Selain teman-temannya, tak ada yang berani menegur atau menyapanya karena takut mendapat masalah. Tapi hari itu agak lain. Dirga melihat ada beberapa orang yang berpakaian seperti ustadz. Mereka memakai kopiah, baju koko putih selutut dan celana sebatas mata kaki. Mereka ternyata adalah pendatang yang mengadakan kegiatan dimasjid di daerah yang di tinggali Dirga.
Mereka datang berkelompok dan ada yang membawa kopor. Belakangan ketahuan mereka adalah anggota dari sebuah organisasi Islam yang sering melaksanakan kegiatan berpindah-pindah di masjid-masjid, untuk berdakwah dan meramaikan kehidupan masjid.
Kedatangan mereka sebenarnya tak terlalu menarik perhatianku sampai salah seorang dari mereka tiba-tiba mendatangi Dirga. Tentu saja Dirga kaget dibuatnya, apalagi setelah ia mengetahui bahwa ia mengajaknya ke masjid.
Dalam hatinya berpikir, apakah manusia di depannya itu buta matanya? Mengajak dirinya ke masjid, padahal penampilannya sangatlah tak memungkinkan dengan orang yang mengajak ke masjid. Ajakan itu Dirga tolak dengan halus.
Esoknya, orang itu ternyata mendatanginya lagi. Ada perasaan tak nyaman langsung menyergapnya saat Ustaz itu menghampirinya, membuat Dirga salah tingkah. Tetapi Ustaz itu tampak tenang-tenang saja dan malahan tersenyum, walaupun ia menunjukkan bahasa tubuh yang risih karena kemunculannya.
“Assalamu’alaikum, Akhi.” Ujarnya sopan.
“Wa’alaikum salam.” Jawab Dirga.
“Kalau ada waktu, mari kita ke masjid melaksanakan salat berjamaah, di sana juga kami kumpul-kumpul mengadakan pengajian,” ujar sang ustaz dengan sopan.