Siang itu, di bulan Muharram 1424 H, terik matahari terasa membakar halaman luas. Setiap kali pesawat terbang mendarat, membawa jamaah haji yang pulang dari Tanah Suci, hati Sultan (Nama samaran), serupa diris-iris sembilu.
Ada setangkup rasa sedih yang menggumpal di sudut kalbunya. Jerit pilu menyuruh jiwanya saat menyaksikan jerit pilu seluruh jiwanya saat menyaksikan kepulangan jamaah haji.
Apalagi ketika Sultan menatap orang-orang berbaju putih itu tersenyum cerah kala menginjakkan kaki di tanah air. Sultan, lelaki yang sudah lama bekerja di bandara itu.
Tak kuasa membendung air mata di sudut kelopak matanya. Saat menatap rombongan jamaah haji Indonesia pulang. Meski sedih, ia tetap bahagia. Karena hari itu salah seorang dari keluarganya ada yang pulang dari Tanah Suci. Ia dimintai bantuan untuk mengurus barang-barang bawaan.
Dengan perasaan campur aduk antara bahagia dan sedih. Sultan memandangi tumpukan koper yang barusan dibongkar dari pesawat. Tetapi setiap kali ia menatap
"Koper berwarna biru tua” bertuliskan nama, nomor kloter dan kota asal jamaah haji. Hatinya kian meliputi kepedihan yang menyayat. Sultan merasa harapannya yang selama ini dipendamnya, belum juga terwujud menunaikan rukun Islam yang kelima.
Allah belum memanggilnya. Saking kuat asanya ingin menunaikan haji. Mulut Sultan kerap berkata
“Ya Allah, kapan saya bisa pergi ke Tanah Suci dan memiliki kopor berwarna biru tua seperti ini?
Empat bulan berlalu sejak peristiwa siang itu. Tetapi Sultan tak akan pernah bisa melupakan keinginan besarnya untuk pergi ke Tanah Suci. Seiring waktu, dia pun bekerja dengan keras dan tekun hingga ia terpilih sebagai pegawai berprestasi.
Sebagai hadiah atas penghargaan itu, perusahaan tempatnya bekerja memberangkatkan Sultan ke Tanah Suci atas biaya kantor bersama 16 pegawai lain. Saat mendapatkan kabar itu, Sultan begitu terkejut dan terpana. Seperti mendapatkan air segar yang turun langsung dari Surga.
Allah Swt., ternyata mengabulkan doanya.Tetapi, di balik kebahagiaan yang tengah mengisi ceruk-ceruk batinnya, Sultan merasa bersedih. Pasalnya ia tidak bisa mengajak istrinya.
Aida (Nama samaran), untuk berhaji bersama-sama. Maka saat pulang dari kantor, ia dilanda bingung. Dan sesampainya di rumah, dia pun memiliki kata-kata yang tepat untuk bercerita pada sang istri tercinta.
Bahkan ketika keduanya sedang duduk di ruang tamu, Sultan berusaha menata hatinya. Tetapi kabar itu harus ia sampaikan. Kabar itu harus ia ceritakan. Maka dihadapan sang istri, Sultan yang dilanda perasaan ragu itu akhirnya memberanikan diri berterus terang.
“Aida, saya ingin bercerita padamu satu hal penting. Tetapi aku khawatir jika nanti kabar ini justru membuatmu sedih.”
“Ceritalah, Kang! Jika cerita itu memang penting.” Balas Aida, penasaran.
"Sebelumnya, saya benar-benar meminta maaf jika berita ini membuatmu sedih. Tetapi jangan marah, apalagi sedih, ya!”
“Ya! Kang, tetapi, Kang harus cerita jujur apa yang terjadi.” Jawab Aida, tambah penasaran.