SETETES HIDAYAH

Jamaludin Rifai
Chapter #12

BUTA MATA BUTA HATI

Di depan serambi rumahnya yang asri, ia duduk menunggu Magrib, menanti sang suami pulang kerja. Hampir setiap senja, ia menghabiskan waktu seperti itu. Bertemankan biji tasbih di tangan dan secangkir teh manis hangat. Gundah dan gelisahnya belum juga reda, sebuah tragedi masa silam yang pahit masih memburu hidupnya.

Peristiwa tragis yang menghantui dirinya itu pernah terjadi. Amelia (Nama samaran 21 tahun), sejak kecil ia memang sudah tidak bisa melihat. Tepatnya, ketika ia baru berusia sepuluh bulan. Sakit panas yang tinggi membuat matanya buta.

Saat itu, Rukmin (Nama samaran 50 tahun), ibunya yang hanya seorang penjual nasi di pinggir jalan terlambat membawanya ke dokter. Ayahnya meninggal sejak ia masih dalam kandungan. Sementara Fatma (Nama samaran 24 tahun), kakak semata wayangnya yang belum lama menyelesaikan studi S1-nya di sebuah perguruan tinggi swasta pun belum juga mendapatkan pekerjaan.

Walhasil, ibunya lah yang mencari nafkah untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari. Berbekal uang peninggalan suaminya, ibu membuka warung makan yang tak jauh dari rumahnya.

Meski tak bisa melihat, Amelia tidak ingin merepotkan ibunya yang sedang bekerja. Ia sudah terbiasa mengusahakan apapun yang dia mau itu dengan tangan sebagai matanya.

Memang, ada saat-saat tatkala ia harus mengutuk-ngutuk dirinya. Terlebih ketika ia tidak bisa meraih sesuatu yang sangat dibutuhkannya. Sementara ibunya yang dibutuhkan sibuk di warung melayani pembeli, dan kakaknya yang dinanti belum juga pulang dari mencari pekerjaan.

Ia merasa tidak ada seorang pun yang peduli dengannya. Ia merasa Allah tidak adil dengan dirinya. Ia menyesal dilahirkan di dunia yang tidak bisa dilihatnya ini.

Kalau sudah begitu, air mata tak henti-hentinya mengalir. Hingga suatu senja, kira-kira arah jam menunjukkan angka 4. Sehabis mendengarkan radio, ia sangat dahaga dan pergi ke dapur hendak mengambil minum. Namun, apa daya ketika tangannya mengedap-ngedap mencari gelas yang terletak di meja makan, seekor kucing menyelinap di kakinya.

Ia kaget dan tangannya menghalau gelas hingga jatuh ke lantai. Ia teriak dan menangis sejadi-jadinya. Mendengar teriak Amelia, ibunya terpaksa meninggalkan, warung dan berlari-lari pulang ke ruamh.

“Ya Allah! Ada apa Nak? Kamu tidak apa-apa, sayang?” Kembali Rukmin menanyakan sambil memeluk Amelia.

“Kenapa tidak ada orang yang mau memperhatikan diriku? Kenapa tidak ada yang mau mengobati diriku? Kenapa Bu? Kenapa?” pertanyaan Amelia meledak-ledak dengan mata berlinang.

Sang ibu pun terdiam. Air matanya diam-diam mengalir.

“Ibu belum punya cukup uang, Nak. hasil warung hanya bisa menutupi biaya hidup kita sehari-hari. Sementara biaya operasi matamu itu sangat besar.” Mendengar jawaban ibunya, Amelia menyalahkan Fatma, kakaknya.

“Kenapa kakak belum juga bekerja untuk mengobatiku, Bu? Kakak hanya mementingkan hidupnya sendiri! Kakak egois, Bu! Kakak tidak mau memedulikan diriku, Bu!”

“Jangan bicara seperti itu, Nak! Kakak memang belum dapat kerjaan.”

“Ah, Ibu tidak menyayangiku! Ibu hanya sayang kepada kakak saja. Ibu hanya mementingkan hidup kakak saja. Aku seperti anak tiri, Ibu!” Amelia semakin gusar. Ia menggerutu sambil menangis.

Saat dialog pilu itu terjadi, kebetulan sekali sang kakak yang dibicarakan baru pulang dari cari kerja. Tak sengaja, ia mendengar protes dan keluhan adiknya itu. Ia pun meneteskan air mata dan langsung memeluk adiknya seraya berkata.

“Jangan bicara seperti itu, Dik! Kakak sayang kamu! Tidak ada sedikit pun pikiran ingin menyia-nyiakan kamu, Dik! Kakak berjanji akan mengobati matamu bila nanti mendapat pekerjaan!” Senja itu pun menjadi hari yang sangat mengharukan bagi seorang ibu dan kedua putrinya.

Selang berapa hari setelah peristiwa senja itu, akhirnya sebuah kabar gembira datang. Surat panggilan wawancara kerja dari sebuah perusahaan swasta menyambangi rumahnya.

Dengan diantar Rahim (Nama samaran 30 tahun), supir taksi yang selama ini mangkal di depan rumahnya dan sudah menjadi langganannya, ia pergi memenuhi panggilan wawancara kerja tersebut.

Alhamdulilah, karena Fatma memiliki wajah cantik, penampilan yang menarik dan otak yang cemerlang, ia pun akhirnya diterima sebagai sekretaris di perusahaan tersebut. Hari itu menjadi hari bersejarah dan paling bahagia bagi Fatma.

Sesampainya di rumah, ibu dan adiknya begitu senang mendengar kabar baik yang kelak mengubah kehidupan mereka bertiga. Terutama sekali si bungsu Amelia.

“Kakak harus janji mengumpulkan uang buat ngobatin mataku. Aku ingin cepat-cepat melihat wajah Ibu. Aku ingin melihat wajah Kakak yang cantik, aku ingin melihat dunia.” Tuturnya bersemangat sambil memegang tangan kakaknya.

Fatma terharu. Ia pun tak kuasa membendung air matanya.

Baru sebulan bekerja, Fatma sudah menunjukkan hasil yang baik. Cepat, disiplin, dan bertanggung jawab. Hal inilah yang membuat Adam (Nama samaran 40 tahun), bos di perusahaan itu ingin terus mempertahankannya sebagai karyawan tetap.

Fatma sendiri bukan main gembiranya mengetahui keputusan bosnya tersebut. Bahkan yang lebih mengembirakan dirinya adalah ketika ia berkesempatan mengenal adik bosnya yang kelak merubah segala kehidupannya. Arfan (Nama samaran 30 tahun). Saati itu, ketika Arfan tengah mengunjungi kakaknya, ia diperkenalkan dengan wanita cantik jelita itu.

“Fatma, perkenalkan! Ini adik bungsuku.”

“Fatma Pak!” Jawab Fatma tegas seraya menjabat tangan Arfan.

“Arfan!”

“Adiku ini seorang dokter spesialis mata. Dia baru praktik setahun ini! Sebelumnya dia sekolah di Amerika.” Tutur Adam mempromosikan diri adiknya ke Fatma. Arfan hanya tersenyum.

Sementara Fatma terhenyak seperti mendapatkan sebuah mukjizat. “Hahh ... betul, Pak! Saya senang sekali berkenalan dengan Pak Arfan.

“Kenapa Fatma? Sepertinya kamu kaget. Ada apa?” tanya Adam penasaran ihwal laku sekretarisnya yang di luar kebiasaan itu.

“Oh tidak, Pak! Saya kagum dengan profesi dokter. Dulu selagi mahasiswa saya sebetulnya ingin kuliah kedokteran. Tetapi, karena biayanya mahal, saya memilih jurusan lain.” Kilah Fatma menutupi rasa bahagianya tentang tanda-tanda harapan untuk mengobati adiknya.

Maka pada hari itu, ia tidak bergeser dari tempat duduknya semenit pun. Ia menunggu Arfan keluar dari pintu ruang bosnya. Ia ingin jauh berkenalan dengan adik bosnya itu. Dan ketika Arfan keluar, ia langsung menghimpirinya. “Maaf Pak Arfan! Boleh saya minta pertolongan Bapak?” tanya Fatma penuh harap.

Lihat selengkapnya