Beberapa hadis meriwayatkan, apabila seorang meninggal dunia hendaklah ia segera dimakamkan. Karena si mayit ingin segera mendapatkan apa akan diperolehnya, pahala atau azab.
Itulah sebabnya jika si mayit adalah seorang yang saleh ia tak sabar ingin bertemu dengan Rabb-Nya, tak heran bila banyak alim ulama yang prosesi penguburannya cepat karena dimudahkan Allah Swt.
Sebaliknya jika si mayit adalah orang selalu berbuat dosa, ia tidak ingin cepat bertemu dengan Tuhan-Nya. Akibatnya orang-orang yang ditinggalkannya ikut pula memikul azab-Nya. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari, bahwa Rasulullah saw., bersabda:
“Jika jenazah telah diletakkan dan siap diusung oleh para lelaki, maka jika jenazah itu orang baik, ia berkata, “Cepatkanlah aku’.
Sedangkan bila orang jahat, ia berkata kepada keluarganya, “Aduh celaka! Ke mana mereka akan membawaku?’ suara jenazah didengar oleh segala sesuatu kecuali manusia. Sebab jika manusia dapat mendengar, pasti ia akan pingsan.’
Cerita di bawah ini menggambarkan bagian sulitnya menguburkan jenazah dari orang yang selama hidupnya dikenal memiliki berbagai jimat.
Semua keburukan yang dialami si mayit, sama sekali tidak dimaksudkan untuk menjelekkan kehidupannya di masa lalu. Namun, memperbaiki hidup kita, sehingga hidayah dan cahaya Allah selalu tercurah untuk kita. Aamiin.
Penduduk desa, tidak terkejut ketika pagi itu diumumkan dari pengeras suara masjid bahwa Pak Jufri (Nama samaran 92 tahun) meninggal dunia. Pak Jufri berusia sangat uzur. Tidak seorang pun tahu berapa tepatnya umur Pak Jufri. Mereka menduga kakek lima orang anak ini berusia 92 tahun.
Sejak lama, Pak Jufri sakit, kesehariannya dihabiskan di tempat tidur. Sesekali oleh keluarganya ia didudukkan di beranda depan rumahnya.
Kendati sudah mahfum dengan keadaan, kepergian Pak Jufri tetap meninggalkan kesedihan. Istrinya yang juga sudah berumur, Nirma (Nama samaran) duduk terpaku di depan jenazah suaminya.
Kelima anaknya, sibuk mengurusi persiapan pemakaman ayah mereka. Hamid (Nama samaran) anak tertua menolak tawaran Pak Agus (Nama samaran), ketua RT setempat untuk memakai keranda kampung. Hamid memilih keranda salah seorang keluarganya.
Jenazah yang telah disalatkan pun harus menunggu agak lama, karena keranda yang dimaksud letaknya jauh dari desa tersebut. Rintangan demi rintangan harus dilalui, rintangan pertama yang menghalangi jenazah untuk dimakamkan adalah ketika kereta keranda bermasalah pada rodanya.
Khawaitr akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kereta keranda pun dibawa ke bengkel terlebih dahulu, untuk diperbaiki.
Sementara itu, suasana di rumah duka dirundung rasa gelisah. Jenazah yang sudah disalati, dan siap untuk dimakamkan harus menunggu lama. Beberapa jam kemudian kereta baru selesai diperbaiki.
Akhirnya upacara pelepasan jenazah pun dilaksanakan, di depan rumah, tepatnya di jalan raya. Sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat, dilakukan upacara yang disebut tusuban, yakni keluarga dekat dari almarhum memutari kolong jenazah.
Konon kegiatan ini dimaksudkan supaya keluarga selamat. Upacara seperti ini tidak ada dalam ajaran Islam, dan tidak pernah dicontohkan Nabi saw.
Jenazah pun kemudian diangkat siap untuk diberangkatkan ke pemakaman. Pada saat itulah terjadi peristiwa kedua yang sangat memilukan pada siapa saja yang melihatnya. Jenazah terjatuh, persis di atas trotoar yang di atasnya terdapat polisi tidur.
Suara jatuhnya berdemam keras sekali, jasad tua itu mendarat di aspal keras. Semua pengantar jenazah beristigfar, sebagian ada yang menjerit pilu. Jeritan mereka di dengar oleh Darmo (Nama samaran) yang langsung menanyakan apa yang terjadi.
Ketika diberitahu bahwa jasad suaminya jatuh, Nirma wanita renta itu pun menangis, bercucuran air mata. Anak-anaknya berusaha untuk membesarkan hatinya, dengan mengatakan kalau kancing kerandanya tidak terkunci.
Mendengar itu hati Nirma sedikit terhibur, ia pun menghentikan tangisannya dan berpesan agar hati-hati membawa jasad suaminya.