Di sebuah cafe bernuansa vintage, Eliana duduk dengan gelisah sembari sesekali melirik kepada layar ponselnya. Ia mengabaikan desain cafe yang apik dengan gambar Marylin Monroe terpasang di salah satu sudutnya. Sejak masuk tadi, ia hanya ingin sesegera mungkin berada di meja sudut dan mengabarkan nomor meja itu kepada seseorang yang telah membuat janji dengannya tiga hari yang lalu.
Sepuluh menit yang lalu, ia tiba di tempat ini. Dan menunggu selama sepuluh menit itu terasa begitu lama. Sejak semalam, ia sudah memikirkan tentang hal ini, tentang bagaimana harus membuat seseorang terkesan dengannya. Dan sebuah gaun selutut berwarna biru dengan hiasan bross bunga mawar ia pilih setelah menimbang dengan penuh seksama.
Jika dalam dua kali sepuluh menit lagi lelaki itu tidak datang, ia hendak meninggalkan tempat ini dan berjanji tidak akan mengulangi hal bodoh ini lagi. Rasanya konyol sekali kalau ia harus menghabiskan waktunya di tengah begitu padatnya pekerjaan hanya untuk menunggu seseorang yang akhirnya tak datang. Dan semua percakapan online itu akan ia buang bila lelaki itu tak datang dalam dua puluh menit ke depan.
Sesekali wajahnya menoleh ke arah pintu masuk, lalu melirik jam di ponselnya lagi. Ia sudah menyusun rencana untuk membeli beberapa potong roti di bakery sebelah cafe bila pertemuan pertama ini gagal.
Seorang lelaki berjalan dengan sedikit tergesa. Matanya langsung tertuju ke sudut ruangan, tempat dimana Eliana tengah duduk.
“Maaf ya, aku telat,”ucap lelaki itu. Ia kini duduk di depan Elinana.
“Tadi ngurus kerjaan dulu, baru meluncur kesini,” sambungnya. Eliana melirik, kemudian tersenyum.
“Sudah lama nunggunya?” Tanya lelaki itu lagi.
“Belum kok,” jawab Eliana ringan.
“Oh iya, aku Nuno,” kata lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya. Eliana menyambut.
“Eliana”.
“Maaf ya, aku item,” ucap Nuno. Ia gugup. Sesekali ia mencuri pandang kepada perempuan yang duduk dengan tenang tanpa peduli betapa gugupnya ia menghadapi pertemuan ini.
Eliana tersenyum. Ia geli. Kata-kata apa itu, batinnya.
Seorang pelayan datang dengan dua cangkir kopi. Eliana jadi bisa mengambil jeda. Sejujurnya, ia tak punya topik untuk pembicaraan ini.
“Kopi item ya?” tanya Nuno. Ia menunjukkan raut wajah yang tak begitu senang.
“Iya, ada masalah?”
“Aku ada maag.”
“Oh, maaf. Aku ga tahu,” sambung Eliana. Ia merasa bersalah.
“Ga apa-apa. Tapi tetap aku minum ya. Kalau yang pesan kamu, aku yakin maag-ku ga akan kambuh” ucap Nuno. Tangannya mengambil cangkir kopi dan menyeruput isinya.
Eliana berfikir keras untuk memecah kekakuan ini
“Eh tadi kenapa minta maaf? Item? Emang kenapa kalau item?”
Nuno tersenyum.
“Biasanya perempuan kan suka sama laki-laki yang putih, bersih, wangi. Sedangkan aku enggak. Maaf ya, aku orang lapangan,” kata Nuno.
Eliana ganti tertawa kecil.
“Kamu lucu ya. Emang siapa juga yang membahas fisik? Mau kamu item kek, putih kek. Apa urusannya?”
“Serius? Ga apa kamu berhubungan sama laki-laki item?”
Tak ada jawaban. Eliana justru tertawa geli.
“Jadi, kamu kenal Konclang dari mana?” tanya Nuno.
“Konclang?” tanya Eliana.
“Eh, maksudku Yahya. Jadi Yahya itu kalau di group kami panggilannya Konclang,” ujar Nuno.
“Dulu siapa ya yang add pertemanan di Facebook, aku lupa.”