Suasana hati Eliana tak terlalu baik di sepanjang jalan. Bayangan Ibra timbul tenggelam dalam pikirannya. Masih terasa di kulit Eliana bagaimana lelaki kekar itu mencengkeram lengannya, lalu menariknya hingga ke dinding, dan menghimpit badannya. Eliana berontak. Namun terlambat, bibir Ibra telah menyentuh bibirnya. Dan Eliana tak tahu lagi bagaimana melawan.
Ibra cenderung memaksa, itu yang tak disukai Eliana. Garis wajahnya tegas. Matanya tajam. Memang terkesan kasar. Namun sebenarnya ada satu sisi baik dari Ibra yang menarik hati Eliana, Ibra tipe problem solver yang selalu siap sedia berada di hadapannya bila dibutuhkan. Ketika ada beberapa preman datang ke butiknya untuk meminta jatah keamanan yang jumlahnya tidak rasional, semua masalah selesai di tangan Ibra. Hans? Eliana sungguh tak bisa mengandalkan lelaki yang satu ini. Hans terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan untuk membuka telinga agar Eliana bisa berkeluh kesah pun tak ada waktu. Yang ada di pikirannya hanya dua hal, pekerjaan dan Miko. Tapi tidak untuk Eliana. Untuk urusan butik dengan segala kerepotannya, Eliana benar-benar harus melangkah sendiri.
Ingatan tentang Ibra terus berputar-putar. Kepala Eliana tiba-tiba terasa berat.
Nuno menyentuh tangan Eliana. Lamunannya pecah.
“Kenapa kamu percaya aku?” Tanya Nuno tiba-tiba. Eliana tergagap. Pertanyaan itu terasa menusuk. Eliana berfikir cepat.
“Feeling seorang perempuan,” jawab Eliana. Ia tak sempat berfikir tentang jawaban lain. Sejak pertemuan pertama beberapa bulan yang lalu, Eliana merasa ada sesuatu yang masuk dan mengisi kekosongan hatinya. Ada lubang di hati Eliana, yang bahkan Hans pun ternyata gagal mengisinya meskipun telah berjalan sepuluh tahun pernikahan mereka. Eliana menunduk. Kekosongan itu menciptakan rasa dingin yang pelan-pelan merambati seluruh tubuhnya.
Eliana mengingat kembali pernikahannya dengan Hans yang bahkan ia sendiri waktu itu tak tahu mengapa harus menikah secepat itu. Hanya suara bapaknya terus bergema di kepalanya, Hans sudah mapan. Lalu semua luluh di depan keluarga besar yang sedikit menekannya. Dan pernikahan diselenggarakan sebulan setelah ia menerima ijazah SMA.
“Kamu banyak melamun dari tadi,” ucap Nuno lagi.
Eliana tersenyum, lalu meminta Nuno berhenti di Alfamart atau Indomaret untuk membeli minuman. Eliana butuh jeda. Entah mengapa, kehadiran Nuno kali ini justru membuat hatinya semakin sesak.
Usai minum, pikiran Eliana kembali jernih. Ada dua masalah utama yang harus ia selesaikan segera, mengakhiri problematika bersama Ibra dan menyusutkan jurangnya bersama Hans.
Nuno memutar lagu Eternal Flame, lalu bernyanyi pelan dan patah. Eliana masih menekuni pikirannya.
Hans, itu yang memenuhi pikiran Eliana. Ia mengingat kembali tentang perasaannya ketika masuk rumah Hans untuk pertama kali ketika mereka ada di masa awal pernikahan. Eliana merasa waktu itu tak terlalu bahagia sebagai pengantin, namun ia lega karena bebas dari kekangan keluarganya. Setidaknya, di rumah itu Eliana tak akan menemukan pipinya yang merah lantaran kena gampar bapaknya yang pulang ke rumah tengah malam setelah berhari-hari tidak pulang karena menghabiskan waktu dan uangnya untuk berjudi. Keluarga yang menyedihkan, batinnya berkali-kali di sepanjang hidupnya ketika melihat ibunya dipukul bapaknya lantaran protes mengapa uang belanja selalu kurang. Eliana tersenyum getir.
“Dua hari yang lalu uang bapakku hilang.”
Nuno mengawali cerita untuk memecah kekakuan selama beberapa menit ini. Eliana menanggapi, “kok bisa?”