Eliana berjalan terburu menuju teras rumah Ibra yang cukup luas. Sengaja ia menemui lelaki itu sepagi mungkin, tak bisa ditunda lagi. Ibra tengah memberi makan ikan di kolam samping rumahnya. Kolam ikan yang tak begitu besar itu dikelilingi oleh pohon bonsai. Ibra memang penyuka tumbuh-tumbuhan. Semenjak kecil, ia sudah diajak bapaknya untuk menggarap ladang. Semenjak ibunya sakit, ia dan bapaknya yang berjuang untuk kehidupan keluarga dengan tiga adik perempuan. Ibrahim nama lengkapnya. Ia suka dipanggil Ibra, namun di rumah, Brahim adalah panggilan kesayangan untuk lelaki tiga puluh tahun ini.
Eliana langsung menuju ke samping rumah, tempat Ibra tengah berdiri. Hatinya berdegup kencang sekali. Eliana membayangkan kejadian di suatu malam bersama Ibra, dan tiba-tiba tubuhnya terasa dingin. Ketika itu, Eliana hendak pulang setelah butiknya tutup. Ibra sudah menunggu di depan dengan Pajero putihnya. Eliana kaget.
“Hai, sayang,” sapa Ibra sembari membuka lebar tangannya, siap untuk sebuah pelukan. Namun Eliana tak merespon. Ia mendekati Ibra dengan wajah tak begitu senang.
“Sudah aku bilang kan, jangan pernah temui aku di butik,” ucap Eliana pelan namun tegas.
“Maaf, aku kangen. Kamu lama sekali tidak datang.”
Eliana segera masuk mobilnya, lalu melaju. Ibra menyusul di belakangnya. Jelas Eliana tak akan menuju rumah. Ia hanya berputar-putar, berharap Ibra menyerah dan segera berbelok menjauhi mobilnya. Namun ternyata tidak. Di setiap belokan, Ibra selalu ada. Eliana akhirnya menyerah. Pukul 22, mobilnya berhenti di pinggir jalan yang sepi. Ia turun. Ibra juga turun.
“Sayang, please. Aku minta maaf kalau ada salah. Tapi jangan seperti ini.”
“Aku mau pulang,” jawab Eliana.
“Ibuku pengen ketemu kamu,” sela Ibra. Eliana tercengang. Kaget.
“Maksudnya apa? Ingat lho, aku ini masih istri orang,” nada suara Eliana mulai meninggi.
“Berani taruhan, cepat atau lambat, kamu juga bakal lepas dari Hans. Dia laki-laki impoten yang gak bisa muasin kamu,” ucap Ibra. Nada suaranya meninggi.
Sebuah tamparan mendarat ke pipi Ibra. Sorot mata Eliana tajam. Ada tangis yang ditahannya. Eliana berjalan menuju mobilnya. Ibra menyusul.
Eliana duduk di belakang kemudi, Ibra berada di sisi kirinya.
“Maafkan aku, sayang. Aku salah. Oke, aku akan sabar. Aku tunggu kamu pisah sama Hans, lalu aku bawa kamu ke keluargaku, dan kita menikah. Oke?” ucap Ibra sembari mencium tangan Eliana. Meskipun menolak, Ibra terus memaksa.
“Aku punya Miko,” ucap Eliana. Ia mulai menangis.
“Aku akan sayang sama Miko.”
Ibra meraih tubuh Eliana. Mereka berpelukan. Ibra mencium rambut Eliana. Lelaki itu merasakan getaran cinta yang begitu besar. Eliana datang kepadanya di suatu malam dengan tangis yang pecah kemana-mana. Dari sana, rasa sayang itu datang. Dan Ibra terus mengikuti alurnya. Semakin hari berlalu, semakin cinta itu menggunung. Dan ia mulai menginginkan Eliana sepenuhnya. Tidak hanya cukup sebagai orang ketiga di antara Hans dan Eliana, tapi benar-benar sebagai pendamping hidupnya. Dari diri Eliana, Ibra merasakan kelembutan. Garis wajahnya lembut, Ibra langsung jatuh cinta. Eliana punya suara yang lemah lembut dan gayanya keibuan. Bodoh sekali Hans yang telah menyia-nyiakannya, batin Ibra.
“Aku janji, akan selalu sayang sama kamu. Aku pengen kamu benar-benar jadi milikku. Seutuhnya.”