Kekalutan pikiran Eliana sedikit mereda ketika ia menghirup udara pantai. Pagi tadi, ia membuat sebuah desain baju kebaya pesanan salah seorang pejabat. Setelah selesai, ia segera menyerahkan segala urusan butik kepada asistennya, dan segera menuju pantai untuk melonggarkan urat-uratnya yang tegang.
Eliana hanya duduk memandang ombak, lalu memesan kelapa muda, dan segera kembali. Jarak dari pantai hanya sekitar satu setengah jam perjalanan. Cukup untuknya kalau hanya sekedar melepas penat.
Namun belum selesai ia menikmati kelapa mudanya, sebuah telepon dari seorang teman masuk.
“Hai, Yahya. Apa kabar?” tanya Eliana. Kayaknya ada yang aneh, tumben, batin Eliana.
“Baik. Kamu di mana?” tanya Yahya.
“Di Bantul. Ada apa ya?”
“Nuno ga hubungi kamu?”
“Enggak. Sudah seminggu ini.”
Hati Eliana mulai gelisah.
“Jadi kamu gak tahu kalau Nuno masuk rumah sakit gara-gara dipukulin orang?”
“Hah? Kapan?”
“Sudah seminggu,” jawab Yahya.
Eliana gelisah. Ia hanya menduga-duga kalau Ibra melakukan sesuatu kepada Nuno. Dari pesan terakhir yang dikirim Ibra, Eliana berfikir bahwa Ibra merasa cemburu dan akan melakukan sesuatu yang nekat. Ia berharap semua pikiran itu salah. Namun ternyata, apa yang ditakutkan Eliana benar-benar terjadi.
Eliana tak tahu harus melakukan apa. Ia ingin mengunjungi Nuno di rumah sakit, namun semua serba tak enak. Ia sangat paham posisi bahwa Nuno adalah suami dari Erika. Datang kepada Nuno adalah hal yang akan membuat semua pihak menjadi tak enak. Nuno akan rikuh. Erika akan curiga. Dan dirinya sendiri akan salah tingkah.
“Kalau ada waktu, mainlah ke bengkelku. Aku share loc ya,” pungkas Yahya.
Eliana segera berdiri dan menuju mobilnya. Ia memutuskan untuk bertemu Yahya. Dari Yahya, ia ingin tahu semua kondisi Nuno. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Yahya secara langsung setelah sekian lama mereka hanya berkomunikasi melalui online. Ada rasa penasaran di hati Eliana.
Bengkel modifikasi motor CB milik Yahya berada di tengah perkampungan yang padat penduduk. Eliana harus memarkir mobilnya jauh, dan ia berjalan menyusuri gang. Setelah lima menit berjalan, sampailah ia di sebuah rumah yang difungsikan sebagai bengkel. Halamannya luas. Setelah bertanya apa betul ini bengkel Yahya, Eliana tak ragu lagi untuk masuk.
Eliana duduk di sebuah kursi kayu sembari menunggu Yahya keluar. Tak lama kemudian, seorang lelaki kurus berambut gondrong menghampirinya.
“Eliana ya? Aku, Yahya,” sapa lelaki itu sembari mengulurkan tangan.