Hans menghabiskan sarapannya dengan santai, tak buru-buru seperti biasanya. Meski senang, Eliana bertanya-tanya juga dalam hati.
“Hari ini kita antar Miko ke sekolah, lalu aku antar kamu ke butik ya,” ucap Hans sebelum meninggalkan mejanya. Eliana diam sejenak. Ia merasa ada yang lebih ganjil. Miko tampak senang. Ia meminta nanti sore dijemput juga oleh papanya. Hans mengiyakan. Juga ia berjanji akan mengajak jalan-jalan sebentar, membeli beberapa mainan, dan menyusul ke butik.
Eliana jadi tambah heran.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Hans banyak mendengarkan celotehan Miko. Eliana hanya diam menyimak. Barulah ketika Miko sudah turun dari mobil, Eliana berani bertanya.
“Kamu tumben, Mas?” tanya Eliana.
Hans meraih tangan Eliana, lalu menciumnya. Eliana tersenyum.
“Sayang, maafkan aku ya. Kayaknya benar saranmu, kita harus segera punya bayi lagi,” lanjut Hans.
Seperti hujan sehari yang menghapus kering setahun, hati Eliana sangat berbunga-bunga. Meskipun sudah sangat bersyukur atas kehadiran Miko, namun jauh di lubuk hatinya, ia rindu juga untuk menimang seorang bayi lagi. Terlebih lagi, bayi perempuan.
“Mas, aku tahu, kamu masih bisa. Kita bisa berobat, Mas. Ada banyak cara medis sekarang. Ayo kita semangat, Mas.”
Harapan di hati Eliana mulai tumbuh. Ia masih sangat ingin menyelamatkan pernikahannya, demi Miko. Ia merasa, benar semua kata ibunya. Sakitnya seorang ibu harus bisa ditahan, demi anak. Dan ia merasa bangga bisa memperjuangkannya sekarang.
“Aku sudah diskusi dengan Bapak dan Ibu. Dan mereka setuju kalau kita mengadopsi seorang bayi perempuan,” ucap Hans.
Eliana kaget. Kegembiraannya tiba-tiba padam. Meskipun sangat ingin menimang bayi, tapi ia ingin sang bayi lahir dari rahimnya. Lagi pula, Eliana masih merasa mampu untuk mengandung dan melahirkan. Ia juga menyusui Miko sampai dua tahun, dan ia juga akan melakukannya lagi untuk bayi mereka berikutnya.
Eliana menarik nafas.
“Mas, kenapa harus adopsi? Kita bisa pakai inseminasi buatan, bisa pakai bayi tabung. Atau Mas bisa berobat dulu. Mas, aku yakin kamu masih bisa.”
Hans diam sejenak. Ia harus menata kalimat dengan sangat hati-hati. Eliana tak bisa berkonfrontasi, ia hafal betul hal itu.
“Begini, sayang,” ucap Hans. “Aku sudah merasa cukup dengan satu anak. Tapi sepertinya kamu tidak, jadi tidak ada masalah kan kalau kita mengangkat satu anak lagi? Kita akan mengasuh bersama. Miko akan senang punya adik lagi. Dan aku janji akan membuatmu bahagia.”
Semua yang disampaikan Hans tak masuk di kepala Eliana. Yang diinginkannya bukan seperti itu. Bila ia ingin memperbaiki pernikahannya, bukan berarti dengan adopsi anak. Ia ingin Hans kembali lagi bersemangat seperti ketika awal pernikahan dulu. Segala yang telah ia sampaikan kepada Hans selama ini terasa jadi sia-sia. Hans tak mampu menangkap apa maksudnya.
Setelah turun dari Mobil, Eliana segera masuk butiknya. Hans menyusul dari belakang. Eliana mulai mengambil kertas dan menggambarkan model baju. Ia mengambil gunting, memotong kain, dan mengontrol para penjahit. Hans masih menunggu di sana.