Di jam makan siang, Eliana mendapatkan sebuah telepon dari teman masa kuliahnya dulu, Diana. Ia mengabarkan kepada Eliana bahwa tengah mengandung anak pertama. Eliana ikut bergembira. Untuk merayakannya, mereka membuat janji untuk bertemu minum kopi sore nanti. Eliana akan menghentikan sejenak pekerjaannya. Diana akan datang pukul empat sore.
“Oke, deal ya. Di JnJ caffee jam 4 sore.”
“Siap,” balas Diana di telepon.
Eliana datang lebih awal. Jaraknya lebih dekat, hanya sekitar lima belas menit. Sedangkan Diana harus menunggu suaminya terlebih dahulu. Suasana kafe sangat menyenangkan. Eliana suka dengan tata letak meja dan kursi yang memberikan pilihan untuk indoor atau outdoor. Musik yang diputar juga tak terlalu kencang. Masih menyisakan ruang untuk mengobrol dengan santai tanpa harus terganggu dengan suara musik.
“Di, I miss you so much.”
Eliana memeluk Diana cukup lama. Diana membalas pelukan Eliana. Mereka memilih meja di dalam agak lebih privat. Eliana hendak berkeluh kesah banyak sekali pada sahabatnya.
“I miss you more, baby. Kamu habis wa terakhir itu kok terus ga ada kabar?” tanya Diana.
“Selamat ya, akhirnya baby pertama juga. Aku enggak dulu,” ucap Eliana.
“Aku akhirnya inseminasi buatan. Kamu kenapa cancel?”
“Hans ga mau. Dia maunya kami adopsi,” Eliana mulai membuka cerita.
“Aku paham. El, jujur aku kasihan sama kamu. Di satu sisi, aku salut sama kamu. Kamu kuat menghadapi keadaan ini. Tapi misal kamu mengambil opsi cerai, alasanmu sangat kuat, dan aku akan selalu ada buat support kamu.”
“Nah, itulah, Di. Aku ga bisa digantung dalam pernikahan yang rapuh ini. Tapi aku juga ga berani ambil keputusan. Pertama, karena Miko. Kedua, keluarga besarku. Tabu untuk pihak perempuan cerai. Ibu akan kecewa. Bapak akan marah. Dan yang ketiga, aku ga ada mental untuk itu.”
Diana memesan camilan tambahan. Ia merasa butuh makanan lebih banyak. Berjam-jam ke depan, ia akan menghabiskan waktu bersama sahabatnya.
“Boleh aku cerita?” ijin Diana.
Eliana memersilahkan.